30 Mei 2008

Tips Mengoptimalkan Ta’lim Lewat CD/DVD




Oleh: Abu Umar Al-Bankawy


Pekerjaan terkadang melalaikan kita dari kewajiban kita untuk menuntut ilmu. Tidak jarang kesibukan begitu menyedot waktu kita, sehingga majelis ta’lim pun jarang kita sambangi. Di sisi lain, frekuensi ta’lim di setiap daerah berbeda-beda. Ada yang penyelenggaraannya sudah begitu intensif, sehingga kapan pun seorang ikhwah bisa mengikuti dars (pelajaran). Ada pula yang frekuensinya masih jarang, paling seminggu sekali. Ini pun hanya bisa dihadiri kalau tidak bertabrakan dengan jadwal kerja.

Untuk itu, mungkin tips ini bisa bermanfaat agar kita masih dapat meraih seteguk kesegaran ilmu di tengah gersangnya kesibukan kita.

1. Carilah CD atau DVD kajian ahlussunnah.

Alhamdulillah, sekarang tasjilat sudah begitu banyak. Kita tinggal memesannya baik secara online.

2. Sediakanlah komputer, MP3 atau CD player.

3. Pilihlah waktu yang memungkinkan untuk menyetelnya.

Sesuaikan dengan kondisi Anda. Bisa di waktu istirahat, di perjalanan pulang dan pergi dari kantor, setelah tiba di rumah, atau sebelum berangkat kerja.

4. Pilihlah pembahasan yang lengkap

Kalau bisa, pilihlah CD kajian yang membahas sebuah permasalahan secara tamam (komplit). Dengan demikian faedah yang Anda peroleh juga akan menyeluruh. Namun ini tidaklah mutlak, kajian apa saja walaupun sifatnya parsial (hanya membahas bab tertentu saja dari sebuah kitab, biasanya ini diperoleh dari daurah-daurah), tetap bagus untuk didengarkan.

5. Sediakan buku tulis

Walaupun ta’lim ini cuma lewat CD, sediakan juga buku dan alat tulis. Catat faedah-faedah yang bisa diperoleh dari ta’lim. Ini akan memudahkan Anda untuk muraja’ah (mengulang-ulang pelajaran)

6. Cari kitab yang dibahas

Dengan adanya kitab (bahasa Arab) yang dibahas, ta’lim yang kita ikuti akan terasa lebih asyik. Dengan memegang kitab pula, kita bisa menambah mufradat (kosakata) bahasa Arab secara perlahan-lahan. Kitab-kitab bisa didownload secara gratis dari situs-situs seperti www.sahab.net, www.islamspirit.com, atau bisa didownload dari situs-situs penulis kitab tersebut, seperti Syaikh Ibnu Utsaimin di www.ibnothaimeeen.com .

7. Jangan lupa muraja’ah (mengulang-ulang pelajaran)

Sekali lagi, meskipun ta’limnya hanya lewat CD, namun kita upayakan untuk menjalaninya seperti ta’lim biasa. Lakukanlah muraja’ah secara rutin agar pelajaran yang diberikan bisa melekat di hati kita.

CATATAN:

Tips ini hanya dilakukan dalam keadaan DARURAT. Maksudnya, ketika di tempat kita sudah ada majelis ilmu dan Anda bisa datang ke sana, maka datangilah. Jadikan kajian CD sebagai tambahan saja. Hal ini karena di ta’lim-ta’lim di masjid akan ada banyak keutamaan yang tidak diperoleh dari sekedar mendengar ta’lim dari CD. Seperti munculnya sakinah (ketenangan) pada diri kita, didoakan para malaikat, dan beragam keutamaan lainnya yang warid dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang keutamaan majelis ilmu.

(Ditulis oleh: Wira Mandiri/Abu Umar Al-Bankawy)

(Sumber: http://dvddakwah-online.com/dvd/?page_id=4)

25 Mei 2008

Bencana Nikah Mut'ah Syi'ah


 

Bismillahirahmanirahim
Tulisan berikut ini adalah beberapa informasi tentang syi'ah yang penulis ketahui (bukan isi dari buku di atas):
1. Awal tahunya tentang agama syi'ah ini adalah setelah penulis mengikuti pengajian ahli sunnah di Jogjakarta pada sekitar tahun 1993 akhir. Waktu itu hanya tergambar tentang ajarannya yang sangat jelek dan bahayanya terhadap kaum muslimin karena memang penulis belum melihat dengan langsung adanya orang-orang syi'ah di sekitar tempat penulis saat itu (Jogja).
2. Pengajian berikutnya penulis mendapat informasi bahwa di Jogja telah ada pengikut syi'ah dari kalangan mahasiswi yang telah menjadi korbannya dimana berita ini terbongkar setelah mahasiswi tersebut (yang memakai cadar) memeriksakan diri ke RSUP Dr. Sardjito Jogja di bagian Poliklinik Penyakit Kulit dan Kelamin. Dan yang mencengangkan dari sini adalah bahwa mahasisiwi tersebut positif terkena penyakit Siphilis atau ada yang mengatakan Gonorrhea (GO), lha kok bisa??? Ajib, seorang yang memakai cadar terkena penyakit seperti itu? Pasti ada sebabnya!
3. Jawabannya, ternyata mahasiswi tersebut adalah salah satu korban nikah mut'ah (kontrak) dengan dosennya sendiri yang merupakan da'i atau pembesar syi'ah di Jogja.
4. Dan kasus ini terbongkar karena mahasiswi tersebut melaporkan sang dosen ke Kepolisian karena ternyata dia tidak mau bertanggung jawab terhadap kehamilan si mahasiswi tadi.
Musibah di atas musibah!!!
Ternyata daya tarik dan 'iklan' ajaran syi'ah kepada orang awam terutama kaum muda diantaranya adalah dengan mengenalkan ajaran syiah yang busuk ini sehingga banyak yang tertipu. Padahal menurut kesepakatan Ulama Ahlu Sunnah, nikah mut'ah memang pernah diperbolehkan pada zaman Nabi Muhammad shalallohu 'alaihi wasalam beberapa saat yang kemudian dihapus/dimansukh untuk selama-lamanya pada zaman beliau juga.
Di sinilah, diantara salah satu bukti bahwa agama syi'ah senantiasa ingin merusak Islam dengan menyelisishi petunjuk Nabi. Memang, Syi'ah bukanlah dari Islam walaupun berkedok Islam. Maka hati-hatilah!
(Abu Shofiyah)

SELENGKAPNYA TENTANG NIKAH MUT'AH, SILAHKAN SIMAK ARTIKEL DI BAWAH INI:

 "AGAMA SYI'AH MENGHALALKAN ZINA"
Jika kaum muslimin memiliki pandangan bahwa pernikahan yang sah menurut syariat Islam merupakan jalan untuk menjaga kesucian harga diri mereka, maka kaum Syi’ah Rafidhah memiliki pandangan lain. Perzinaan justru memiliki kedudukan tersendiri di dalam kehidupan masyarakat mereka. Bagaimana tidak, perzinaan tersebut mereka kemas dengan nama agama yaitu nikah mut’ah. Tentu saja mereka tidak ridha kalau nikah mut’ah disejajarkan dengan perzinaan yang memang benar-benar diharamkan Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kenyataan-lah yang akan membuktikan hakekat nikah mut’ah ala Syi’ah Rafidhah.

Definisi Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah adalah sebuah bentuk pernikahan yang dibatasi dengan perjanjian waktu dan upah tertentu tanpa memperhatikan perwalian dan saksi, untuk kemudian terjadi perceraian apabila telah habis masa kontraknya tanpa terkait hukum perceraian dan warisan. (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1404 karya An-Nawawi dengan beberapa tambahan)

Hukum Nikah Mut’ah
Pada awal tegaknya agama Islam nikah mut’ah diperbolehkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam beberapa sabdanya, di antaranya hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu dan Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu: “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemui kami kemudian mengizinkan kami untuk melakukan nikah mut’ah.” (HR. Muslim)
Al-Imam Al-Muzani rahimahullah berkata: “Telah sah bahwa nikah mut’ah dulu pernah diperbolehkan pada awal-awal Islam. Kemudian datang hadits-hadits yang shahih bahwa nikah tersebut tidak diperbolehkan lagi. Kesepakatan ulama telah menyatakan keharaman nikah tersebut.” (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1404 karya An-Nawawi)
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai manusia! Sesungguhnya aku dulu pernah mengizinkan kalian untuk melakukan nikah mut’ah. Namun sekarang Allah ‘azza wa jalla telah mengharamkan nikah tersebut sampai hari kiamat.” (HR. Muslim)

Adapun nikah mut’ah yang pernah dilakukan beberapa sahabat di zaman kekhalifahan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu dan Umar radhiyallahu ‘anhu, maka hal itu disebabkan mereka belum mendengar berita tentang diharamkannya nikah mut’ah selama-lamanya. (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1405 karya An-Nawawi)

Gambaran Nikah Mut’ah di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Di dalam beberapa riwayat yang sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, jelas sekali gambaran nikah mut’ah yang dulu pernah dilakukan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Gambaran tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
1. Dilakukan pada saat mengadakan safar (perjalanan) yang berat seperti perang, bukan ketika seseorang menetap pada suatu tempat. (HR. Muslim hadits no. 1404)
2. Tidak ada istri atau budak wanita yang ikut dalam perjalanan tersebut. (HR. Bukhari no. 5116 dan Muslim no. 1404)
3. Jangka waktu nikah mut’ah hanya 3 hari saja. (HR. Bukhari no. 5119 dan Muslim no. 1405)
4. Keadaan para pasukan sangat darurat untuk melakukan nikah tersebut sebagaimana mendesaknya seorang muslim memakan bangkai, darah dan daging babi untuk mempertahankan hidupnya. (HR. Muslim no. 1406)

Nikah Mut’ah menurut Tinjauan Syi’ah Rafidhah
Dua kesalahan besar telah dilakukan kaum Syi’ah Rafidhah ketika memberikan tinjauan tentang nikah mut’ah. Dua kesalahan tersebut adalah:
A. Penghalalan Nikah Mut’ah yang Telah Diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya
Bentuk penghalalan mereka nampak dari kedudukan nikah mut’ah itu sendiri di kalangan mereka. Ash-Shaduq di dalam kitab Man Laa Yahdhuruhul Faqih dari Ash-Shadiq berkata: “Sesungguhnya nikah mut’ah itu adalah agamaku dan agama pendahuluku. Barangsiapa mengamalkannya maka dia telah mengamalkan agama kami. Sedangkan barangsiapa mengingkarinya maka dia telah mengingkari agama kami dan meyakini selain agama kami.”
Di dalam halaman yang sama, Ash-Shaduq mengatakan bahwa Abu Abdillah pernah ditanya: “Apakah nikah mut’ah itu memiliki pahala?” Maka beliau menjawab: “Bila dia mengharapkan wajah Allah (ikhlas), maka tidaklah dia membicarakan keutamaan nikah tersebut kecuali Allah tulis baginya satu kebaikan. Apabila dia mulai mendekatinya maka Allah ampuni dosanya. Apabila dia telah mandi (dari berjima’ ketika nikah mut’ah, pen) maka Allah ampuni dosanya sebanyak air yang mengalir pada rambutnya.”
Bahkan As-Sayyid Fathullah Al Kasyaani di dalam Tafsir Manhajish Shadiqiin 2/493 melecehkan kedudukan para imam mereka sendiri ketika berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa melakukan nikah mut’ah satu kali maka derajatnya seperti Al-Husain, barangsiapa melakukannya dua kali maka derajatnya seperti Al-Hasan, barangsiapa melakukannya tiga kali maka derajatnya seperti Ali radhiyallahu ‘anhu, dan barangsiapa melakukannya sebanyak empat kali maka derajatnya seperti aku.”

B. Betapa Keji dan Kotor Gambaran Nikah Mut’ah Ala Syi’ah Rafidhah
1. Akad nikah
Di dalam Al Furu’ Minal Kafi 5/455 karya Al-Kulaini, dia menyatakan bahwa Ja’far Ash-Shadiq pernah ditanya seseorang: “Apa yang aku katakan kepada dia (wanita yang akan dinikahi, pen) bila aku telah berduaan dengannya?” Maka beliau menjawab: “Engkau katakan: Aku menikahimu secara mut’ah berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya, namun engkau tidak mendapatkan warisan dariku dan tidak pula memberikan warisan apapun kepadaku selama sehari atau setahun dengan upah senilai dirham demikian dan demikian.” Engkau sebutkan jumlah upah yang telah disepakati baik sedikit maupun banyak.” Apabila wanita tersebut mengatakan: “Ya” berarti dia telah ridha dan halal bagi si pria untuk menggaulinya. (Al-Mut’ah Wa Atsaruha Fil-Ishlahil Ijtima’i hal. 28-29 dan 31)

2. Tanpa disertai wali si wanita
Sebagaimana Ja’far Ash-Shadiq berkata: “Tidak apa-apa menikahi seorang wanita yang masih perawan bila dia ridha walaupun tanpa ijin kedua orang tuanya.” (Tahdzibul Ahkam 7/254)

3. Tanpa disertai saksi (Al-Furu’ Minal Kafi 5/249)

4. Dengan siapa saja nikah mut’ah boleh dilakukan?
Seorang pria boleh mengerjakan nikah mut’ah dengan:
- wanita Majusi. (Tahdzibul Ahkam 7/254)
- wanita Nashara dan Yahudi. (Kitabu Syara’i'il Islam hal. 184)
- wanita pelacur. (Tahdzibul Ahkam 7/253)
- wanita pezina. (Tahriirul Wasilah hal. 292 karya Al-Khumaini)
- wanita sepersusuan. (Tahriirul Wasilah 2/241 karya Al-Khumaini)
- wanita yang telah bersuami. (Tahdzibul Ahkam 7/253)
- istrinya sendiri atau budak wanitanya yang telah digauli. (Al-Ibtishar 3/144)
- wanita Hasyimiyah atau Ahlul Bait. (Tahdzibul Ahkam 7/272)
- sesama pria yang dikenal dengan homoseks. (Lillahi… Tsumma Lit-Tarikh hal. 54)

5. Batas usia wanita yang dimut’ah
Diperbolehkan bagi seorang pria untuk menjalani nikah mut’ah dengan seorang wanita walaupun masih berusia sepuluh tahun atau bahkan kurang dari itu. (Tahdzibul Ahkam 7/255 dan Lillahi… Tsumma Lit-Tarikh hal. 37)

6. Jumlah wanita yang dimut’ah
Kaum Rafidhah mengatakan dengan dusta atas nama Abu Ja’far bahwa beliau membolehkan seorang pria menikah walaupun dengan seribu wanita karena wanita-wanita tersebut adalah wanita-wanita upahan. (Al-Ibtishar 3/147)

7. Nilai upah
Adapun nilai upah ketika melakukan nikah mut’ah telah diriwayatkan dari Abu Ja’far dan putranya, Ja’far yaitu sebesar satu dirham atau lebih, gandum, makanan pokok, tepung, tepung gandum, atau kurma sebanyak satu telapak tangan. (Al-Furu’ Minal Kafi 5/457 dan Tahdzibul Ahkam 7/260)

8. Berapa kali seorang pria melakukan nikah mut’ah dengan seorang wanita?
Boleh bagi seorang pria untuk melakukan mut’ah dengan seorang wanita berkali-kali. (Al-Furu’ Minal Kafi 5/460-461)

9. Bolehkah seorang suami meminjamkan istri atau budak wanitanya kepada orang lain?
Kaum Syi’ah Rafidhah membolehkan adanya perbuatan tersebut dengan dua model:
a. Bila seorang suami ingin bepergian, maka dia menitipkan istri atau budak wanitanya kepada tetangga, kawannya, atau siapa saja yang dia pilih. Dia membolehkan istri atau budak wanitanya tersebut diperlakukan sekehendaknya selama suami tadi bepergian. Alasannya agar istri atau budak wanitanya tersebut tidak berzina sehingga dia tenang selama di perjalanan!!!
b. Bila seseorang kedatangan tamu maka orang tersebut bisa meminjamkan istri atau budak wanitanya kepada tamu tersebut untuk diperlakukan sekehendaknya selama bertamu. Itu semua dalam rangka memuliakan tamu!!!
(Lillahi… Tsumma Lit-Tarikh hal. 47)

10. Nikah mut’ah hanya berlaku bagi wanita-wanita awam. Adapun wanita-wanita milik para pemimpin (sayyid) Syi’ah Rafidhah tidak boleh dinikahi secara mut’ah. (Lillahi… Tsumma Lit-Tarikh hal. 37-3

11. Diperbolehkan seorang pria menikahi seorang wanita bersama ibunya, saudara kandungnya, atau bibinya dalam keadaan pria tadi tidak mengetahui adanya hubungan kekerabatan di antara wanita tadi. (Lillahi… Tsumma Lit-Tarikh hal. 44)

12. Sebagaimana mereka membolehkan digaulinya seorang wanita oleh sekian orang pria secara bergiliran. Bahkan, di masa Al-’Allamah Al-Alusi ada pasar mut’ah, yang dipersiapkan padanya para wanita dengan didampingi para penjaganya (germo). (Lihat Kitab Shobbul Adzab hal. 239)

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu Menentang Nikah Mut’ah
Para pembaca, bila kita renungkan secara seksama hakikat nikah mut’ah ini, maka tidaklah berbeda dengan praktek/transaksi yang terjadi di tempat-tempat lokalisasi. Oleh karena itu di dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim diriwayatkan tentang penentangan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu –yang ditahbiskan kaum Syi’ah Rafidhah sebagai imam mereka- terhadap nikah mut’ah. Beliau radhiyallahu ‘anhu mengatakan: “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang nikah mut’ah dan daging keledai piaraan pada saat perang Khaibar.” Beliau (Ali radhiyallahu ‘anhu) juga mengatakan bahwa hukum bolehnya nikah mut’ah telah dimansukh atau dihapus sebagaimana di dalam Shahih Al-Bukhari hadits no. 5119.

Wallahu A’lam Bish Showab.

Sumber: Buletin Islam Al Ilmu Edisi 33/IV/II/1425, Ma’had As Salafy Jember. dengan judul asli Syi’ah dan Mut’ah
http://www.assalafy.org/al-ilmu.php?tahun2=31
VIA http://syiah.co.nr 

20 Mei 2008

Menggugat Demokrasi (2) - Unsur Demokrasi



Oleh: Asy Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al Imam

Demokrasi sendiri memiliki tiga unsur yaitu :

1. At Tasyri’ (Legislatif)
Tidak ada yang berhak menetapkan peraturan kecuali demokrasi. Padahal Allah-lah Ahkamul Hakimin (Hakim Yang Seadil-adilnya) dan Arhamur Rahimin (Yang Maha Penyayang) yang bagi-Nya seluruh kekuasaan dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Dalam demokrasi, hukum-hukum-Nya tidak lagi berlaku. Dia tidak boleh membuat peraturan bagi hamba-hamba-Nya. Membuat peraturan adalah ujung tombak dari undang-undang. Karena itulah dibuat peraturan demi melestarikan demokrasi.

2. Al Qadha’ (Yudikatif)
Tidak diperkenankan bagi seorang penguasa pun untuk memutuskan sesuatu kecuali berdasarkan undang-undang. Kalau tidak maka dia akan terkena hukuman. Sebagaimana tertera pada pasal 147 undang-undang dasar negeri Yaman :
“Memberi keputusan adalah kekuasaan tersendiri baik di dalam masalah hukum, harta kekayaan maupun administrasi. Dan pengadilan diberi kemerdekaan untuk memberi keputusan hukum dalam seluruh perkara perdata dan pidana. Para hakim adalah independen, tidak ada atasan bagi mereka dalam menjatuhkan vonis kecuali undang-undang.”
Renungkanlah kata-kata “tidak ada atasan bagi mereka dalam menjatuhkan vonis kecuali undang-undang”.

3. At Tanfidz (Eksekutif)
Tidak boleh melaksanakan satu keputusan pun kecuali yang berasal dari undang- undang. Itu berarti membekukan seluruh aturan-aturan syari’ah dan kepada Allah- lah tempat mengadukan segala urusan. Lihatlah pada pasal 104 yang berbunyi :
“Yang menjadi pelaksana kekuasaan sebagai ganti dari rakyat adalah presiden dan kementerian sesuai garis-garis yang telah ditentukan di dalam undang-undang.”

Apabila kita telah mengetahui bahwa demokrasi merupakan sistem hidup menurut kacamata pembuat dan pembelanya maka yakinlah kita bahwa ia tidak hendak lengser dan berubah. Demokrasi adalah sistem sosial politik internasional yang disokong dan disepakati oleh negara-negara besar. Demokrasi adalah sistem dan pandangan hidup global. Tidak ada halangan bagi kelompok pro-demokrasi untuk mengubah satu bagian atau satu kata saja dari pasal tersebut demi kepentingan demokrasi itu sendiri. Namun itu dilakukan bukan untuk meruntuhkannya seperti kenyataan yang kita saksikan sekarang.

“Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (QS. Yusuf : 21)

(Judul asli: Tanwir Azh-Zhulumat bi Kasyfi Mafasid wa Syubuhat al-Intikhabaat, Penerbit Maktabah al-Furqan, Ajman, Emirate. Sumber: www.assunnah.cjb.net)
Via http://ulamasunnah.wordpress.com

16 Mei 2008

Menggugat Demokrasi (1) - Definisi Demokrasi



Oleh: Asy Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al Imam

Definisi Demokrasi
Abdul Ghani Ar Rahhal di dalam bukunya, Al Islamiyyun wa Sarah Ad Dimuqrathiyyah mendefinisikan demokrasi sebagai “kekuasaan rakyat oleh rakyat”. Rakyat adalah sumber kekuasaan.
Ia juga menyebutkan bahwa orang yang pertama kali mengungkap teori demokrasi adalah Plato. Menurut Plato, sumber kekuasaan adalah keinginan yang satu bukan majemuk. Definisi ini juga yang dikatakan oleh Muhammad Quthb dalam bukunya Madzahib Fikriyyah Mu’ashirah. Dan juga oleh penulis buku Ad Dimuqrathiyyah fi Al Islam serta yang lainnya.

Perkembangan Demokrasi
Revolusi Prancis tercetus dengan semboyannya yang terkenal “kebebasan, persaudaraan, dan persamaan .” Prancis memasukkan demokrasi ke dalam undang- undang dasarnya di bawah judul Hak-Hak Asasi Manusia pada pasal ketiga :
“Rakyat adalah sumber dan gudang kekuasaan. Setiap lembaga atau individu yang memegang kekuasaan tidak lain mengambil kekuasaan dari rakyat.”
Pasal ini dimasukkan kembali pada undang-undang dasar tahun 1791 M. Di situ disebutkan bahwa tahta kepemimpinan adalah milik rakyat. Sistem ini tidak mengakui model pembagian kekuasaan, pengunduran diri ataupun meraih kekuasaan dengan cara kudeta.

Kemudian paham demokrasi inipun dicantumkan di dalam undang-undang dasar sebagian negara Arab dan Islam. Sebagai contoh di Mesir ditetapkan di dalam undang-undang kesatu tahun 1923 serta 1956. Dan pada tahun 1971 di dalam undang-undang tersebut terdapat teks yang menyebutkan antara lain bahwa :
“Kepemimpinan adalah milik rakyat dan rakyat adalah sumber kekuasaan menurut cara yang dijelaskan di dalam undang-undang.”
Pasal ini terdapat pada undang-undang nyaris semua negara Arab dan Islam. Pasal semacam ini juga termaktub di dalam undang-undang Yaman, negara kami. Pada pasal empat misalnya disebutkan :
“Rakyat adalah pemilik dan sumber kekuasaan. Kekuasaan itu bisa diperoleh secara langsung dengan cara referendum atau lewat pemilihan umum demikian pula mencabut kekuasaan itu dapat dilakukan secara tidak langsung melalui lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif serta melalui majelis-majelis perwakilan yang dipilih.”

Dari sini dapat diketahui bahwa demokrasi adalah “Rabb” yang berhak menetapkan syariat.
Maka tidak samar bagi seorang Muslim bahwa ini adalah perbuatan kufur akbar, syirik akbar, dan kezaliman yang besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman mengisahkan perkataan Luqman Al Hakim :
“Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman : 13)

Syirik apalagi yang lebih besar daripada meniadakan peribadatan kepada Allah?

(Judul asli: Tanwir Azh-Zhulumat bi Kasyfi Mafasid wa Syubuhat al-Intikhabaat, Penerbit Maktabah al-Furqan, Ajman, Emirate. Sumber: www.assunnah.cjb.net)
Via http://ulamasunnah.wordpress.com/2008/05/13/menggugat-demokrasi-definisi-demokrasi/#more-
274

15 Mei 2008

May Monthly Lecture :::: May 29th, 2008



May 29th will be our next Monthly Lecture, inshaa'Allaah, a continuation of the readings from the Creed of Imaam al-Bukhaaree [d.256H] - rahimahullaah. The lecture will be held in Sabah as-Saalem in the home of our noble brother Aboo Muhammad Bilaal Nance- may Allaah reward him and his family for their efforts- and the exact time will be announced soon, inshaa'Allaah.
Further information for Indonesian Brothers call: Abu Shofiyah, 6646806.

12 Mei 2008

Koreksi: Wanatuubi ilahi & Wa ba'du !!!



Oleh Abu Shofiyah Rashid bin Dasmin


Dalam membuka suatu pembicaraan atau menulis risalah, banyak pembicara/penulis yang ingin meneladani sunnah Rosululloh shalallohu 'alaihi wasalam dengan menukil hadits KHUTBATUL HAJAH, diantaranya:

إنَّ الحَمْدَ لله، نَحْمَدُه، ونستعينُه، ونستغفرُهُ،ونتوب إليه ونعوذ به مِن شُرُورِ أنفُسِنَا، وَمِنْ سيئاتِ أعْمَالِنا، مَنْ يَهْدِه الله فَلا مُضِلَّ لَهُ، ومن يُضْلِلْ، فَلا هَادِي لَهُ.وأَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه.
وبعد:
atau

إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونتوب إليه ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا ، من يهده الله فلا مضل له ، ومن يضلل فلا هادي له ، وأصلي وأسلم على عبده ونبيه محمد بن عبد الله وعلى آله وأصحابه الطيبين الطاهرين ،
أما بعد:

atau

إن الحمد لله نحمده ونستعينه
ونتوب إليه ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا، منيهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله، صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه وسلم تسليما كثيرا . وبعد.

dan yang semisalnya.

Kedua kata yang bertanda merah dan tebal di atas BUKAN dari ucapan Nabi shalallohu 'alaihi wasalam, maka hati-hatilah!!!

Yang diriwayatkan dari Nabi shalallohu 'alaihi wasalam adalah tanpa kata
ونتوب إليه
Dan diakhiri dengan kata: امَا بعد bukan وبعد

Dari Muhadharah Syeikh Abul Abbas Adil Mansur hafidzahulloh di Bayan, Kuwait (April 2008).

07 Mei 2008

Mimpi (Baik) Seorang Mukmin Bagian dari Kenabian



Makna Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: Mimpi Seorang Mukmin Bagian dari Nubuwwah

Oleh: Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah

Tanya:

Apa makna sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

رُؤْيَا الْمُؤْمِنِ جُزْءٌ مِنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِيْنَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ

“Mimpi seorang mukmin merupakan satu bagian dari 46 bagian nubuwwah (kenabian).”

Kalau begitu siapakah yang benar mimpinya?

Jawab:

Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu menjawab:

“Makna sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

رُؤْيَا الْمُؤْمِنِ جُزْءٌ مِنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِيْنَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ

adalah apa yang diimpikan seorang mukmin akan terjadi dengan benar, karena mimpi tersebut merupakan permisalan yang dibuat bagi orang yang bermimpi. Terkadang mimpi itu adalah berita tentang sesuatu yang sedang atau akan terjadi. Kemudian sesuatu itu benar terjadi persis seperti yang diimpikan. Dengan demikian, dari sisi ini mimpi diibaratkan seperti nubuwwah dalam kebenaran apa yang ditunjukkannya, walaupun mimpi berbeda dengan nubuwwah. Karena itulah mimpi dikatakan satu dari 46 bagian nubuwwah. Kenapa disebut 46 bagian, karena hal ini termasuk perkara tauqifiyyah1. Tidak ada yang mengetahui hikmahnya sebagaimana halnya bilangan-bilangan rakaat dalam shalat2.

Adapun ciri orang yang benar mimpinya adalah seorang mukmin yang jujur, bila memang mimpinya itu mimpi yang baik/bagus. Jika seseorang dikenal jujur ucapannya ketika terjaga, ia memiliki iman dan takwa, maka secara umum mimpinya benar. Karena itulah hadits ini pada sebagian riwayatnya datang dengan menyebutkan adanya syarat, yaitu mimpi yang baik/bagus dari seorang yang shalih. Dalam Shahih Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَصْدَقُهُمْ رُؤْيًا أَصْدَقُهُمْ حَدِيْثًا


“Orang yang paling benar mimpinya adalah orang yang paling jujur ucapannya.”

Akan tetapi perlu diketahui di sini bahwa mimpi yang dilihat seseorang dalam tidurnya itu ada tiga macam:

Pertama: Mimpi yang benar lagi baik. Inilah mimpi yang dikabarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai satu dari 46 bagian kenabian. Secara umum, mimpinya itu tidak terjadi di alam nyata. Namun terkadang pula terjadi persis seperti yang dilihat dalam mimpi. Terkadang terjadi di alam nyata sebagai penafsiran dari apa yang dilihat dalam mimpi. Dalam mimpi ia melihat satu permisalan kemudian ta’bir dari mimpi itu terjadi di alam nyata namun tidak mirip betul. Contohnya seperti mimpi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beberapa waktu sebelum terjadi perang Uhud. Beliau mimpi di pedang beliau ada rekahan/retak dan melihat seekor sapi betina disembelih. Ternyata retak pada pedang beliau tersebut maksudnya adalah paman beliau Hamzah radhiyallahu ‘anhu akan gugur sebagai syahid. Karena kabilah (kerabat/keluarga) seseorang kedudukannya seperti pedangnya dalam pembelaan yang mereka berikan berikut dukungan dan pertolongan mereka terhadap dirinya. Sementara sapi betina yang disembelih maksudnya adalah beberapa sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum akan gugur sebagai syuhada. Karena pada sapi betina ada kebaikan yang banyak, demikian pula para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Mereka adalah orang-orang yang berilmu, memberi manfaat bagi para hamba dan memiliki amal-amal shalih.

Kedua: Mimpi yang dilihat seseorang dalam tidurnya sebagai cermin dari keinginannya atau dari apa yang terjadi pada dirinya dalam hidupnya. Karena kebanyakan manusia mengimpikan dalam tidurnya apa yang menjadi bisikan hatinya atau apa yang memenuhi pikirannya ketika masih terjaga (belum tidur) dan apa yang berlangsung pada dirinya saat terjaga (tidak tidur). Mimpi yang seperti ini tidak ada hukumnya3.

Ketiga: Gangguan dari setan yang bermaksud menakut-nakuti seorang manusia, karena setan dapat menggambarkan dalam tidur seseorang perkara yang menakutkannya, baik berkaitan dengan dirinya, harta, keluarga, atau masyarakatnya. Hal ini dikarenakan setan memang gemar membuat sedih kaum mukminin sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا النَّجْوَى مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِيْنَ آمَنُوا وَلَيْسَ بِضَارِّهِمْ شَيْئًا إِلاَّ بِإِذْنِ الله

ِ
“Sesungguhnya pembicaraan rahasia4 itu dari setan, dengan tujuan agar orang-orang beriman itu bersedih hati, padahal pembicaraan itu tidaklah memberi mudarat sedikitpun kepada mereka kecuali dengan izin Allah ….” (Al-Mujadalah: 10)

Setiap perkara yang dapat menyusahkan seseorang dalam hidupnya dan mengacaukan kebahagiaan hidupnya merupakan target yang dituju oleh setan. Ia sangat bersemangat untuk mewujudkannya, baik orang yang hendak diganggunya itu tengah terjaga atau sedang larut dalam mimpinya. Karena memang setan merupakan musuh sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوْهُ عَدُوًّا


“Sesungguhnya setan itu merupakan musuh bagi kalian maka jadikanlah ia sebagai musuh.” (Fathir: 6)

Terhadap bentuk mimpi yang ketiga ini, kita dibimbing oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berlepas diri darinya. Beliau memerintahkan kepada orang yang bermimpi melihat perkara yang dibencinya agar berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari gangguan setan dan dari kejelekan apa yang dilihatnya. Kemudian ia meludah sedikit ke arah kirinya sebanyak tiga kali, mengubah posisi tidurnya dengan membalikkan lambung/rusuknya ke arah lain dan tidak boleh menceritakan mimpi tersebut kepada seorang pun. Bila seseorang telah melakukan bimbingan Rasul yang telah disebutkan ini, niscaya mimpi buruknya itu tidak akan memudaratkannya sedikitpun. Hal ini banyak terjadi di kalangan manusia. Banyak pertanyaan yang datang tentang permasalahan ini, namun obatnya adalah apa yang telah diterangkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disebutkan dalam hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan Al-Imam Muslim rahimahullahu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا رَأَى أَحَدُكُمُ الرُّؤْيَا يَكْرَهُهَا فَلْيَبْصُقْ عَنْ يَسَارِهِ ثَلاَثًا وَلْيَسْتَعِذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ ثَلاَثاً، وَلْيَتَحَوَّلْ عَنْ جَنْبِهِ الَّذِي كَانَ عَلَيْه

“Bila seseorang dari kalian bermimpi hal yang dibencinya (mimpi buruk), hendaklah meludah ke arah kiri sebanyak tiga kali dan berlindung kepada Allah dari gangguan setan tiga kali, serta memalingkan lambung/rusuknya ke arah yang berbeda dengan yang sebelumnya.”

Sebagaimana disebutkan pula dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu:

إِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ مَا يَكْرَهُهَا فَإِنَّمَا هِيَ مِنَ الشَّيْطَانِ، فَلْيَسْتَعِذْ مِن شَرِّهَا وَلاَ يَذْكُرْهَا لِأَحَدٍ فَإِنَّهَا لاَ تَضُرُّهُ


“Bila seseorang dari kalian bermimpi perkara yang dibencinya (mimpi buruk) maka hanyalah mimpi itu dari setan. Karena itu, hendaklah ia berlindung kepada Allah dari kejelekan mimpi tersebut dan janganlah ia ceritakan mimpinya kepada seorang pun. Sungguh mimpi itu tidak akan memudaratkannya.”

Dalam hadits Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu yang dikeluarkan Al-Imam Muslim rahimahullahu disebutkan bahwa Abu Qatadah berkata:

كُنْتُ أَرَى الرُّؤْيَا فَتُمْرِضُنِي حَتَّى سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ مِنَ اللهِ، فَإِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ مَا يُحِبُّ فَلاَ يُحَدِّثْ بِهَا إِلاَّ مَنْ يُحِبُّ. وَإِنْ رَأَى مَا يَكْرَهُ فَلْيَتْفُلْ عَنْ يَسَارِهِ ثَلاَثًا، وَلْيَتَعَوَّذْ بِاللهِ مِنْ شَرِّ الشَّيْطَانِ وَشَرِّهَا وَلاَ يُحَدِّثْ بِهَا أَحَدًا فَإِنَّهَا لَنْ تَضُرَّهُ


“Aku pernah bermimpi buruk hingga mimpi itu membuatku sakit/lemah. Sampai akhirnya aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa mimpi yang bagus itu dari Allah, maka bila salah seorang dari kalian bermimpi melihat perkara yang disukainya maka jangan ia ceritakan mimpi tersebut kecuali kepada orang yang dicintainya. Bila yang diimpikan itu perkara yang tidak disukai (mimpi buruk), hendaklah ia meludah sedikit ke kiri tiga kali, berlindung kepada Allah dari kejelekan setan dan dari kejelekan mimpi tersebut, dan jangan ia ceritakan mimpi itu kepada seorang pun. Bila demikian yang dilakukannya niscaya mimpi itu tidak akan memudaratkannya.”

Adapun dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَإِنْ رَأَى أَحَدُكُمْ مَا يَكْرَهُ فَلْيَقُمْ فَلْيُصَلِّ وَلاَ يُحَدِّثْ بِهَا النَّاس

ِ
“Bila seseorang dari kalian melihat perkara yang dibencinya dalam mimpinya maka hendaklah ia bangkit dari tempat tidurnya (untuk berwudhu) lalu mengerjakan shalat dan jangan ia ceritakan mimpinya itu kepada manusia.” (HR. Muslim)

Dengan demikian ada beberapa perkara yang diperintahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang bermimpi buruk:

1. Meludah sedikit ke arah kirinya tiga kali

2. Berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kejelekan setan (membaca ta’awudz) sebanyak tiga kali

3. Berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kejelekan apa yang dilihatnya (dalam mimpi)

4. Memalingkan lambung/rusuknya ke arah yang berlainan dari arah semula

5. Tidak boleh diceritakannya kepada seorangpun

6. Hendaknya ia bangkit dari tempat tidurnya (untuk berwudhu) lalu mengerjakan shalat.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

(Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Fadhilatisy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, 1/327-330)

Footnote:

1 Perkaranya sudah paten, dari sananya demikian. Tidak ada andil bagi akal dalam penetapannya, namun semata-mata dari wahyu, Al-Qur`an dan As-Sunnah. (pent.)
2 Seperti Zhuhur 4 rakaat, Subuh 2 rakaat, Maghrib 3 rakaat, dan seterusnya. Apa hikmahnya? Jawabannya, tak ada yang tahu. Penetapan bilangan 4, 2, dan 3 ini merupakan perkara tauqifiyyah. Bukan hasil ijtihad akal seorang manusia, namun semata-mata dari wahyu. Sehingga tak boleh seorang pun mengubah jumlah rakaat shalat-shalat tersebut dengan buah pikirannya. (pent.)
3 Karena peristiwa di alam nyata atau pikirannya di alam nyata itulah yang membawanya sampai bermimpi.
4 Berbicara dengan bisik-bisik di hadapan kaum mukminin, sehingga si mukmin menyangka bahwa yang dibicarakan adalah rencana untuk mencelakakannya dan menimpakan kejelekan padanya. Akibatnya ia merasa sedih, takut, dan khawatir. (pent.)

Sumber: Majalah Asy-Syari’ah, Vol.III/No.32/1428H/2007, Kategori: Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 89-91. Dicopy dari: http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=504
Via: http://ulamasunnah.wordpress.com/2008/05/07/mimpi-seorang-mukmin-bagian-dari-kenabian/#more-269

05 Mei 2008

Daurah Masyaikh di Jogjakarta


Bismillahirrahmmanirrahim.

Melalui blog ini kami umumkan bahwa insya ALLAH muhadharah bersama masyaikh ahlussunnah akan kembali diadakan di Masjid Agung Manunggal Bantul, Jogjakarta bersama para masyaikh ahlussunnah:

1. Asy Syaikh DR. Muhammad bin Hadi Al Madkhali (Madinah)

2. Asy Syaikh Prof. DR. Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul (Makkah)

3. Asy Syaikh Abdullah bin Umar Al Mar’i Al Adni (Hadramaut, Yaman)

4. Asy Syaikh Abdullah Al Bukhari ( Madinah)

5. Asy Syaikh Khalid Azh Zhufairi (Kuwait)

Insya ALLAH muhadharah akan diselenggarakan dari tanggal 2 sampai 4 Agustus 2008.

Demikian informasi dari kami, apabila ada perubahan insyaALLAH akan kami informasikan melalui blog ini.
Barakallahu fiikum.
Sumber dari http://ulamasunnah.wordpress.com/

03 Mei 2008

Ayo Belajar Bahasa Arab!

Supaya materi bisa ditampilkan semua, silahkan KLIK KANAN, kemudian PILIH: OPEN IN NEW WINDOW atau NEW TAB.

01 Mei 2008

Apakah Perbedaan antara Ruh dan Nafs (Jiwa)?



Syeikh Ubeid Al Jabiri hafidzahulloh
Pertanyaan: "Apakah perbedaan antara 'ruh' dan 'nafs'(jiwa)?
Asy Syeikh menjawab: "Ruh adalah yang menghidupi jasad, yang mana jika (ruh tersebut) dicabut, maka matilah jasad itu.
Adapun 'nafs (jiwa)', ada 2 pengertian:
1. Bisa berarti mengenai dzat/badan itu sendiri. Sebagaimana firman Alloh:
     ونفس وما سوَاها

Artinya: "Dan demi jiwa dan penyempurnaannya (ciptaannya)."(Asy Syams:7)

2. Bisa juga berarti ruh, sebagaimana firman Alloh:

اللهُ يَتَوَفَّى الأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الأُخْرَى إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى إِنَّ فِي ذَلِكَ لآَيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Artinya: "Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir."
(Az Zumar: 42).
Wallohu a'lam.

Sumber: Rekaman tanya jawab dari Durus Online -di Blog ini- Asy Syeikh dengan ikhwan salafiyin di UK (Inggris) yang disiarkan pada tanggal 19 April 2008 = 13 Rabi'ul Akhir 1429 H Jam 22.45 Waktu Kuwait.