15 November 2009

Dzulhijjah, Bulan Mulia Penuh Ibadah

Penjelasan Ringkas tentang

10 Hari Pertama Dzulhijjah, Qur’ban & Hari Raya ‘Idul ‘Adh-ha

oleh :

Fadhilatusy Syaikh Al-’Allamah Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah


الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على سيد المرسلين .. وبعد
Sesungguhnya di antara keutamaan dan karunia yang Allah berikan kepada makhluk-Nya adalah dijadikannya musim (masa-masa tertentu) bagi hamba-hamba-Nya yang shalih untuk memperbanyak amal shalih di dalamnya. Di antara musim (masa-masa) tersebut adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.


Keutamaan Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhijjah

1. Allah Ta’ala berfirman:

وَالفَجرِ وَلَيَالٍ عَشرٍ.

“Demi fajar, dan malam yang sepuluh.” (Al-Fajr: 1-2)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Yang dimaksud dengan malam yang sepuluh adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Ibnu Az-Zubair, Mujahid, dan yang lainnya. Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari.”

2. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

ما من أيام العمل الصالح فيهن أحب إلى الله من هذه الأيام العشر. قالوا: ولا الجهاد في سبيل الله؟ قال: ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجلٌ خرج بنفسه وماله فلم يرجع من ذلك بشيء.

“Tidak ada hari-hari di mana amalan shalih yang dikerjakan di dalamnya lebih dicintai oleh Allah daripada sepuluh hari ini. Para shahabat bertanya: Termasuk pula jihad fi sabilillah? Beliau bersabda: Ya, termasuk pula jihad fi sabilillah, kecuali seseorang yang keluar dengan jiwa dan hartanya dan tidak kembali darinya sedikit pun.” (HR. Al-Bukhari, Abu Dawud, At-Tirmidzi. Lafazh ini adalah lafazh Abu Dawud)


3. Allah ta’ala berfirman:

وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ.

“Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan.” (Al Hajj: 28)

Ibnu ‘Abbas berkata: “(Yakni) sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.” (Tafsir Ibni Katsir).

4. Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

ما من أيام أعظم عند الله سبحانه ولا أحب إليه العمل فيهن من هذه الأيام العشر؛ فأكثروا فيهن من التهليل والتكبير والتحميد.

“Tidak ada hari yang lebih agung dan lebih dicintai di sisi Allah subhanahu wata’ala jika amalan shalih dikerjakan di dalamnya daripada sepuluh hari ini, maka perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid pada hari-hari tersebut.” (HR. Ahmad)

5. Sa’id bin Jubair rahimahullah -dan beliau yang meriwayatkan hadits Ibnu ‘Abbas (poin no. 2) di atas- ketika telah memasuki sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, beliau sangat bersungguh-sungguh untuk beribadah sampai-sampai hampir beliau tidak mampu untuk mengerjakannya. (HR. Ad-Darimi)

6. Ibnu Hajar dalam Fathul Bari berkata: “Dan yang tampak dari sebab diistimewakannya sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah karena waktu tersebut merupakan tempat berkumpulnya (dan ditunaikannya) induk dari berbagai macam ibadah, yaitu shalat, puasa, shadaqah, dan haji. Itu semua tidak terjadi pada waktu yang lain.”


Amalan Yang Disunnahkan

Untuk Dikerjakan Pada 10 Hari Pertama Dzulhijjah

1. Shalat

Disunnahkan untuk bersegera menunaikan (shalat) fardhu dan memperbanyak yang sunnah, karena ini adalah termasuk amalan yang paling afdhal untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Shahabat Tsauban radhiyallahu ‘anhu berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عليك بكثرة السجود لله، فإنك لا تسجد لله سجدة إلا رفعك الله بها درجة، وحطَّ عنك بها خطيئة.

“Wajib atas kamu untuk memperbanyak sujud kepada Allah, karena seseunnguhnya tidaklah kamu bersujud kepada Allah sekali saja melainkan Allah akan mengangkat satu derajatmu dan Allah akan menghapus satu kesalahan darimu.” (HR. Muslim).

Dan ini (bersujud) mencakup semua waktu, kapan pun dilaksanakan.

2. Puasa

Karena puasa termasuk dalam keumuman amal shalih (yang disunnahkan untuk diperbanyak pada hari-hari itu). Dari Hunaidah bin Khalid, dari istrinya, dari sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dia berkata:

كان رسول الله يصوم تسع ذي الحجة، ويوم عاشوراء، وثلاثة أيام من كل شهر.

“Dahulu Rasulullah berpuasa pada hari kesembilan bulan Dzulhijjah, dan hari ‘asyura’ (tanggal sepuluh Muharram), dan tiga hari pada setiap bulannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan An Nasa’i).

Al-Imam An-Nawawi mengatakan tentang puasa pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah bahwa itu adalah amalan yang sangat disenangi (disunnahkan).

3. Takbir, Tahlil, Tahmid

Berdasarkan hadits dari Ibnu ‘Umar yang telah disebutkan di atas:

فأكثروا فيهن من التهليل والتكبير والتحميد.

“Maka perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid pada hari-hari tersebut.”

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah berkata: “Ðahulu Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma keluar menuju pasar pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan bertakbir, kemudian orang-orang pun juga ikut bertakbir ketika mendengar takbir keduanya.”

Beliau (Al-Imam Al-Bukhari) juga berkata: “Dan ‘Umar dahulu bertakbir di kubahnya di Mina, maka kemudian orang-orang yang berada di dalam masjid mendengarnya dan mereka pun ikut bertakbir, dan orang-orang yang berada di pasar pun juga ikut bertakbir sampai-sampai Mina bergetar disebabkan suara takbir mereka.”

Dan Ibnu ‘Umar dahulu bertakbir di Mina pada hari-hari tersebut, dan juga bertakbir setiap selesai mengerjakan shalat, bertakbir ketika berada di atas ranjangnya, di dalam kemahnya, di majelisnya, dan di setiap perjalanannya pada hari-hari tersebut.

Dan disenangi (disunnahkan) untuk mengeraskan bacaan takbir sebagaimana yang dilakukan Umar, anaknya (yakni Ibnu ‘Umar), dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum.

Sudah sepantasnya bagi kita kaum muslimin untuk menghidupkan kembali sunnah tersebut yang sudah hilang pada zaman ini dan hampir dilupakan bahkan oleh ahlu ash shalah wal khair (orang-orang yang memiliki kebaikan dan keutamaan) sekalipun. Dan yang memprihatinkan adalah apa yang terjadi sekarang justru menyelisihi amaliyah yang biasa dilakukan as salafush shalih.


Lafazh Takbir


Ada tiga lafazh,

Pertama :

الله أكبر. الله أكبر. الله أكبر كبيراً.

Kedua :

الله أكبر. الله أكبر. لا إله إلا الله. والله أكبر. الله أكبر ولله الحمد.

Ketiga :

الله أكبر. الله أكبر. الله أكبر. لا إله إلا الله. والله أكبر. الله أكبر. الله أكبر ولله الحمد.

4. Puasa hari Arafah

Puasa pada hari Arafah sangat ditekankan berdasarkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tentang puasa hari Arafah:

أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله والسنة التي بعده.

“Aku berharap kepada Allah untuk menghapus dosa setahun sebelumnya dan setahun setelahnya.” (HR. Muslim).

Beliau juga bersabda ketika ditanya tentang puasa ‘Arafah :

يكفر السنة الماضية والباقية

“(Puasa Arafah tersebut) menghapuskan dosa satu tahun yang lalu dan yang akan datang.” (HR. Muslim)

Akan tetapi barangsiapa yang berada di Arafah -yakni sedang beribadah haji-, maka tidak disunnahkan baginya berpuasa karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan wuquf di Arafah dalam keadaan berbuka (tidak berpuasa).


Keutamaan Hari Nahr [1]

Kebanyakan kaum muslimin melalaikan hari ini, kebanyakan kaum mukminin pun lalai dari kemuliaan dan keutamaannya yang sangat besar, banyak, dan melimpah pada hari tersebut. Demikianlah, padahal sebagian ‘ulama berpendapat bahwa hari itu adalah hari yang paling afdhal (utama) dalam setahun secara mutlak termasuk juga (lebih afdhal daripada) hari Arafah.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Sebaik-baik hari di sisi Allah adalah hari Nahr, dan dia adalah hari Haji Akbar.”

Sebagaimana yang disebutkan dalam Sunan Abi Dawud dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:

إن أعظم الأيام عند الله يوم النحر، ثم يوم القرِّ.

“Sesungguhnya hari yang paling agung di sisi Allah adalah hari Nahr, kemudian hari Al Qarr.”

Hari Al Qarr adalah hari ketika berada di Mina, yaitu hari ke-11 (bulan Dzulhijjah).

Pendapat lain mengatakan bahwa hari Arafah afdhal (lebih utama) daripada hari Nahr, karena puasa yang dikerjakan pada hari itu akan menghapus kesalahan yang dilakukan selama dua tahun (setahun sebelumnya dan setahun setelahnya), dan tidak ada hari yang Allah membebaskan hamba dari Neraka lebih banyak daripada pada hari Arafah, dan juga karena Allah subhanahu wata’ala akan mendekat kepada hamba-hamba-Nya pada hari itu kemudian Allah akan membanggakan orang-orang yang wuquf di hadapan para malaikat.

Yang benar adalah pendapat pertama, karena hadits yang menunjukkan hal tersebut tidak ada satu dalil pun yang menyelisihinya.

Sama saja apakah yang afdhal (lebih utama) itu hari Nahr atau hari Arafah, maka setiap muslim hendaknya bersemangat, baik dia sedang berhaji maupun sedang mukim (tidak berhaji) untuk meraih keutamaannya dan memanfaatkan kesempatan pada hari itu (untuk banyak melakukan amalan kebajikan).


Bagaimana Menyambut Musim (masa-masa) yang Penuh Kebaikan?

1. Sudah sepantasnya bagi seorang muslim untuk menyambut setiap musim (masa-masa) yang penuh kebaikan dengan taubat yang jujur dan sebenar-benarnya, dengan meninggalkan segala bentuk perbuatan dosa dan maksiat karena sesungguhnya dosa-dosa itu akan menyebabkan seseorang diharamkan dari keutamaan Rabbnya dan akan menghalangi hati dari Penolongnya (Allah ta’ala).

2. Demikian pula hendaknya musim (masa-masa) yang penuh kebaikan itu disambut dengan tekad yang jujur dan kesungguhan untuk memanfaatkan masa tersebut dengan menjalankan amalan yang bisa mendatangkan ridha Allah ‘Azza wa Jalla. Barangsiapa yang jujur kepada Allah, maka Allah akan membenarkannya.

وَالَّذِينَ جَاهَدُواْ فِينَا لَنَهدِيَنَّهُمّ سُبُلَنَا.

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. (Al-’Ankabut: 69)

Wahai saudaraku muslim, bersemangatlah untuk memanfaatkan kesempatan ini sebelum lewat darimu, yang akan menyebabkan kamu menyesal, tidak ada waktu untuk menyesal. Mudah-mudahan Allah memberikan taufiq kepadaku dan kepada kamu untuk bisa memanfaatkan musim (masa-masa) yang penuh kebaikan ini, dan kami memohon kepada-Nya pertolongan agar bisa menjalankan ketaatan dan bagusnya ibadah kepada-Nya pada masa tersebut.


Sekelumit Hukum-Hukum terkait dengan Al-Udh-hiyah (Qurban) dan Pensyari’atannya

Al-Udh-hiyah adalah hewan ternak yang disembelih pada hari-hari Adh-ha disebabkan adanya ‘Id (Hari Raya), dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wajalla.

Amalan ini merupakan salah satu bentuk ibadah yang disyari’atkan dalam Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, dan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin.

Adapun dalam Kitabullah, Allah ta’ala berfirman:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ.

“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berqurbanlah.” (Al-Kautsar: 2)

Dan firman-Nya:

قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. لا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ.

“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, sesembelihanku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (Al-An’am: 162-163)


Waktu Pelaksanaan Al-Udh-hiyah

Al-Udh-hiyah adalah ibadah yang tertentu waktunya, bagaimanapun kondisinya tidak boleh dilaksanakan sebelum waktunya, dan tidak boleh pula dilaksanakan setelah keluar dari waktunya, kecuali jika mengakhirkannya dalam rangka mengqadha’ disebabkan ‘udzur tertentu.

Awal waktu pelaksanaannya adalah setelah shalat ‘Id bagi yang mengerjakan shalat ‘Id, seperti orang-orang yang tinggal di daerahnya (tidak dalam keadaan safar). Atau juga dilaksanakan setelah ada kesempatan bagi orang-orang yang tidak mengerjakan shalat ‘Id, seperti musafir dan penduduk yang tinggal di pedalaman (Badui).

Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat (’Id) maka hewan yang disembelih tadi adalah hewan sembelihan biasa, bukan termasuk Udh-hiyah dan wajib untuk menyembelih lagi dengan tata cara yang sama setelah shalat sebagai penggantinya, hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Al-Barra’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

من ذبح قبل الصلاة فإنما هو لحم قدمه لأهله ، وليس من النسك في شيء.

“Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat, maka sesungguhnya itu hanya daging sembelihan biasa yang disuguhkan untuk keluarganya saja, dan bukan termasuk nusuk (sembelihan qurban) sedikitpun.” (Ahmad dan Ibnu Majah)


Dan diriwayatkan pula oleh Al-Bukhari dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

ومن ذبح بعد الصلاة فقد تم نسكه ، وأصاب سنة المسلمين.

“Dan barangsiapa yang menyembelih setelah shalat, maka sempurnalah nusuk (ibadah qurban)nya dan mencocoki sunnah kaum muslimin.”



Jenis (Keadaan) Hewan Yang Layak dan Memenuhi Kriteria Untuk Dijadikan Hewan Qurban

Hewan yang dijadikan qurban adalah dari jenis hewan ternak saja, berdasarkan firman Allah ta’ala:

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكاً لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأَنْعَامِ.

“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syari’atkan penyembelihan (qurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dirizkikan Allah kepada mereka.” (Al-Hajj: 34).

Hewan ternak yang dimaksud di sini adalah unta, sapi, kambing baik dari jenis dha’n (domba) maupun ma’z (kambing jawa). Demikain yang dinyatakan Ibnu Katsir, dan beliau berkata: “Ini adalah pendapat Al-Hasan, Qatadah, dan yang lainnya. Ibnu Jarir berkata: Demikian juga jenis seperti inilah yang dimaksud di kalangan orang Arab.” -selesai penukilan-.

Dan juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

لا تذبحوا إلا مسنة إلا أن تعسر عليكم فتذبحوا جذعة من الضأن.

“Janganlah kalian menyembelih (hewan qurban) kecuali musinnah. Kecuali jika kalian kesulitan mendapatkannya, maka dibolehkan bagi kalian untuk menyembelih jadza’ah (yang berumur muda) dari jenis dha’n.” (HR. Muslim)

Musinnah adalah Tsaniyah. Tsaniyah pada Unta adalah unta yang genap berumur lima tahun. Tsaniyah pada Sapi adalah sapi yang genap berumur dua tahun. Tsaniyah pada Kambing (baik dari jenis dha’n maupun ma’z) adalah yang genap berumur satu tahun.

Adapun jadza’ dari jenis dha’n adalah yang genap berumur setengah tahun.

Dan juga karena Udh-hiyah adalah merupakan ibadah sebagaimana Hadyu (sesembelihan yang dilakukan jama’ah haji), sehingga amalan ini tidak disyari’atkan kecuali dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak pernah dinukilkan dari beliau bahwa beliau menyembelih untuk hadyu maupun qurban dari selain unta, sapi, dan kambing.

Yang paling afdhal (utama) adalah unta, kemudian sapi, kemudian dha’n (domba), kemudian ma’z (Kambing Jawa), kemudian sepertujuh dari unta, dan kemudian sepertujuh dari sapi.

Dan yang paling afdhal dari itu semua adalah yang paling gemuk, banyak dagingnya, sempurna fisiknya, dan bagus dipandang. Dalam Shahih Al-Bukhari dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu

أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يضحي بكبشين أقرنين أملحين.

“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu berqurban dengan menyembelih dua kambing kibasy yang bertanduk dan amlah.”

Amlah adalah yang warna putihnya bercampur dengan hitam.


Keadaan Hewan Qurban yang Harus Dihindari

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya: “Hewan qurban yang bagaimana yang hendaknya dihindari?” Maka beliau memberikan isyarat dengan tangannya dan bersabda:

أربعا : العرجاء البين ظلعها ، والعوراء البين عورها ، والمريضة البين مرضها ، والعجفاء التي لا تنقي.

“Ada empat, yaitu (1) yang pincang dan jelas pincangnya, (2) yang rusak matanya dan jelas kerusakannya, (3) yang sakit dan jelas sakitnya, dan (4) yang kurus dan tidak bersumsum.” (HR. Abu Dawud no. 2802, At-Tirmidzi no. 1502, Ibnu Majah no. 3144 dengan sanad yang dishahihkan oleh An-Nawawi rahimahullahu dalam Al-Majmu’ 8/227. )

Pada riwayat At-Tirmidzi disebutkan Al-’Ajfa’ (yang kurus), dan dalam riwayat An-Nasa’i disebutkan pengganti dari lafazh Al-Kasir (yang lemah).

Keempat keadaan ini telah disebutkan secara nash tentang larangannya dan belum memenuhi kriteria untuk dijadikan hewan qurban, yaitu:

1. Yang rusak matanya dan jelas kerusakannya, yaitu yang matanya cekung ataupun cembung. Jika hewan tadi tidak bisa melihat dengan matanya akan tetapi kerusakannya tidak nampak jelas, maka itu masih memenuhi kriteria. Akan tetapi jika selamat (sehat) dari kelainan tersebut, maka itu lebih baik.

2. Yang sakit dan jelas sakitnya, yaitu yang nampak pengaruh sakitnya pada hewan tersebut, seperti demam yang menghalanginya dari gembalaan (tidak bisa digembalakan), dan juga seperti kudis yang parah dan bisa merusak daging atau berpengaruh terhadap kesehatannya, atau yang semisalnya dari penyakit yang dianggap oleh orang-orang sebagai penyakit yang nyata. Jika pada hewan ada sifat malas atau tubuhnya lemah yang tidak menghalangi dari gembalaan (bisa digembalakan) dan dimakan, maka ini sudah mencukupi kriteria, akan tetapi jika dipilih hewan yang kondisinya lebih segar, maka itu lebih baik.

3. Yang pincang dan jelas pincangnya, yaitu yang tidak mampu berjalan bersama hewan-hewan lain yang sehat (sehingga selalu tertinggal). Jika hewan tersebut mengalami kepincangan yang ringan dan tidak menghalanginya dari berjalan bersama hewan-hewan yang lain (bisa berjalan normal seperti yang lainnya), maka ini sudah mencukupi kriteria, akan tetapi memilih hewan yang lebih sehat (tidak ada kepincangan padanya) itu lebih baik.

4. Yang lemah atau kurus tidak bersumsum, jika hewan tersebut kurus atau lemah tetapi masih ada sumsumnya, maka ini sudah mencukupi. Kecuali jika hewan tersebut mengalami kepincangan yang sangat jelas. Akan tetapi hewan yang gemuk dan sehat itu lebih baik.

Inilah empat keadaan hewan yang secara nash disebutkan dalam hadits tersebut tentang larangan menjadikannya sebagai hewan qurban. Para ulama juga berpendapat demikian. Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dalam kitab Al-Mughni mengatakan: “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat tentang tidak terpenuhinya kriteria binatang yang demikian kondisinya sebagai hewan qurban.” -Selesai penukilan-.

Termasuk juga hewan yang tidak boleh dijadikan qurban adalah jika kondisinya semakna (seperti) dengan empat keadaan di atas atau bahkan yang lebih parah dari itu. Masuk dalam kategori ini adalah:

1. Yang mengalami kebutaan, yaitu yang tidak bisa melihat dengan matanya. Hewan ini lebih layak untuk tidak memenuhi kriteria hewan qurban, karena kondisinya lebih parah daripada hewan “yang rusak matanya dan jelas kerusakannya.”

Adapun hewan yang menderita rabun senja, yakni bisa melihat hanya pada waktu siang dan tidak bisa melihat pada malam hari, maka madzhab Asy-Syafi’i menyatakan bahwa itu sudah mencukupi kriteria, karena yang demikian tidak tergolong hewan “yang rusak matanya dan jelas kerusakannya”, dan tidak pula termasuk yang buta terus menerus sehingga mempengaruhi penggembalaan dan perkembangbiakannya. Akan tetapi hewan yang tidak menderita seperti itu lebih baik.

2. Yang mengalami sakit pencernaan, sampai dia bisa membuang kotorannya (berak). Karena penyakit pada pencernaan itu akan menimbulkan bahaya seperti penyakit yang nyata. Jika dia berhasil membuang kotorannya (berak), maka hilanglah kondisi kritis pada hewan tersebut dan sudah bisa mencukupi kriteria untuk dijadikan hewan qurban jika tidak terjadi dengannya penyakit yang jelas.

3. Hewan yang mau melahirkan sampai dia selamat (ketika melahirkan), karena kondisi seperti ini sangat berbahaya, terkadang bisa memutus kehidupannya (mati) sehingga diserupakan dengan penyakit yang nyata. Bisa saja hewan tersebut memenuhi kriteri untuk dijadikan hewan qurban jika melahirkan itu memang menjadi kebiasaan baginya dan tidak mengalami masa yang membuat dagingnya berubah dan rusak.

4. Hewan yang mengalami sesuatu yang menyebabkan kematian seperti tercekik, terpukul, jatuh, ditanduk, dan diterkam binatang buas. Karena yang demikian kondisinya itu lebih pantas untuk tidak mencukupi kriteria sebagai hewan qurban daripada hewan “yang menderita sakit yang jelas sakitnya” dan hewan “yang pincang dan jelas kepincangannya.”

5. Az-Zumna, yaitu hewan yang lemah tidak mampu berjalan karena penyakit tertentu, ini lebih pantas untuk tidak mencukupi kriteria sebagai hewan qurban daripada hewan “yang pincang dan jelas kepincangannya.” Adapun hewan yang lemah tidak mampu berjalan karena kegemukan, maka madzhab Malikiyah meyatakan hal itu sudah mencukupi karena tidak adanya penyakit pada hewan tersebut dan tidak ada cacat pada tubuhnya.

6. Hewan yang terpotong salah satu tangan atau kakinya, karena ini juga lebih pantas untuk tidak mencukupi kriteria sebagai hewan qurban daripada “yang pincang dan jelas kepincangannya.” Dan juga karena telah hilang bagian yang vital dari tubuhnya sehingga diserupakan dengan hewan yang terpotong ekornya.

Inilah di antara cacat yang menghalangi terpenuhinya kriteria ideal hewan qurban, yaitu ada sepuluh, empat di antaranya telah disebutkan secara nash dan yang enam adalah dengan qiyas. Jika didapati salah satu dari keadaan-keadaan (cacat) tersebut pada hewan ternak, maka tidak boleh berqurban dengannya karena tidak terpenuhinya salah satu syarat yaitu selamat (sehat) dari cacat yang bisa menghalangi terpenuhinya kriteria ideal hewan qurban.

Apakah Boleh Berqurban Atas Nama Mayit (Orang yang Sudah Meninggal Dunia)?

Pada asalnya berqurban itu disyari’atkan terhadap orang-orang yang masih hidup sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya dahulu berqurban untuk diri mereka sendiri dan keluarganya. Adapun permasalahan yang diyakini sebagian orang awam yaitu pengkhususan qurban untuk orang yang sudah meninggal, maka ini tidak ada dasarnya dalam syari’at ini.

Berqurban atas nama orang yang sudah meninggal ada tiga macam:

1. Berqurban atas nama orang yang sudah mati tetapi sifatnya hanya mengikuti yang masih hidup, seperti seseorang berqurban atas nama dirinya sendiri dan keluarganya, dan dia meniatkan keluarga yang dimaksud di sini adalah yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Dasar dari amalan ini adalah qurban yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau berqurban atas nama diri beliau sendiri dan keluarganya, dan di antara anggota keluarganya ada yang sudah meninggal sebelumnya.

2. Berqurban atas nama mayit dalam rangka menjalankan wasiatnya. Dasar dari amalan ini adalah firman Allah ta’ala:

فَمَن بَدَّلَهُ بَعدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِلُونَهُ إِنَّ اللهَ سَمِيع عَلِيمٌ.

“Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al Baqarah: 181)

3. Berqurban atas nama mayit dalam rangka shadaqah yang terpisah (berdiri sendiri) dari yang masih hidup, maka ini diperbolehkan. Para ulama madzhab Al-Hanabilah menyatakan bahwa pahalanya akan sampai kepada si mayit dan bisa memberikan manfaat baginya, atas dasar qiyas dengan amalan shadaqah atas nama dia.

Akan tetapi kami tidak memandang bahwa pengkhususan qurban atas nama orang yang sudah meninggal itu merupakan sunnah (tuntutan Nabi), karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mengkhususkan berqurban atas nama seorang pun dari orang-orang yang sudah meninggal. Tidak pernah beliau berqurban atas nama paman beliau, Hamzah, padahal dia adalah salah seorang kerabat yang paling mulia di sisi beliau. Dan tidak pula beliau berqurban atas nama anak-anaknya yang telah meninggal ketika beliau masih hidup, tiga anak perempuan yang telah menikah dan tiga anak laki-laki yang masih kecil. Dan tidak pula beliau berqurban atas nama istri beliau, Khadijah padahal beliau adalah salah seorang istri yang paling beliau cintai. Dan tidak pernah pula disebutkan dari para shahabat pada zamannya, bahwa salah seorang dari mereka berqurban atas nama seseorang yang sudah meninggal.

Dan kami juga melihat di antara kesalahan yang dilakukan sebagian orang adalah mereka berqurban (menyembelih hewan) atas nama orang yang telah meninggal pada awal tahun kematiannya yang mereka namakan dengan Udh-hiyatul Hufrah. Mereka berkeyakinan bahwa tidak boleh bagi seorang pun untuk bersama-sama dalam meraih pahala dengan si mayit tersebut. Atau mereka berqurban dari harta orang yang sudah meninggal dalam rangka shadaqah ataupun menjalankan wasiatnya, dan tidak berqurban atas nama diri sendiri dan keluarganya. Kalau seandainya mereka mengetahui bahwa seseorang jika berqurban dari hartanya sendiri atas nama diri dan keluarganya baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, maka mereka tidak akan meninggalkan yang seperti ini untuk berpaling kepada amalan mereka (sebelumnya) tersebut.


Hal-Hal Yang Harus Dijauhi Oleh Seseorang Yang Hendak Berqurban

Jika seseorang hendak berqurban dan telah memasuki bulan Dzulhijjah - baik dengan cara ru’yatul hilal maupun menyempurnakan bulan Dzulqa’dah menjadi 30 hari - maka diharamkan baginya untuk mengambil (memotong) sedikitpun dari rambut, kuku, dan kulitnya sampai dia benar-benar telah menyembelih hewan qurbannya. Berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إذا دخلت العشر وأراد أحدكم أن يضحي فليمسك عن شعره وأظفاره.

Jika telah masuk sepukuh hari pertama bulan Dzulhijjah, dan salah seorang dari kalian hendak menyembelih hewan qurban, maka tahanlah (tidak memotong) dari rambut dan kukunya.” (HR. Ahmad dan Muslim)

Dan dalam lafazh yang lain:

فلا يمسَّ من شعره ولا بشره شيئاً حتى يضحي.

Maka janganlah menyentuh (mengambil) rambut dan kulitnya sedikitpun sampai dia melaksanakan qurbannya.”

Dan jika niat untuk berqurban itu muncul di pertengahan sepuluh hari tersebut, maka hendaknya dia menahan diri (untuk tidak mengambil/memotong rambut, kuku, dan kulitnya) mulai saat itu juga, dan dia tidak berdosa jika pernah mengambil/memotongnya ketika sebelum berniat.

Hikmah larangan ini adalah bahwasamya seorang yang berqurban, yang berarti dia turut serta bersama jama’ah haji dalam melakukan sebagian amaliah manasik - yaitu dalam bentuk menyembelih hewan qurban - maka dia pun juga harus turut serta (dengan para jama’ah haji) dalam hal sebagian kekhususan (keadaan ketika) ihram, berupa menahan diri (tidak mengambil/memotong) rambut dan yang semisalnya. Atas dasar ini, maka dibolehkan bagi keluarga orang yang hendak berqurban untuk mengambil/memotong rambut, kuku, dan kulitnya pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah tersebut.

Hukum ini khusus berlaku bagi orang yang hendak berqurban. Adapun bagi Al-Mudhahha ‘Anhu (pihak yang diatasnamakan padanya qurban), maka tidak ada kaitannya sama sekali dengan hukum tersebut karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وأراد أحدكم أن يضحي…

“Dan salah seorang dari kalian hendak menyembelih hewan qurban …”


Dan tidak mengatakan:

“… ataupun juga bagi yang diatasnamakan padanya qurban.”

Di samping itu juga karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu pernah berqurban dengan mengatasnamakan keluarganya, namun tidak pernah dinukilkan dari beliau bahwa beliau memerintahkan mereka (keluarganya) untuk menahan diri (tidak mengambil/memotong) itu semua.

Dan jika orang yang hendak berqurban mengambil/memotong sedikit saja dari rambut, kuku, ataupun kulitnya, maka wajib atas dia untuk bertaubat kepada Allah ta’ala dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Tidak diwajibkan bagi dia untuk membayar kaffarah, dan tidak pula menghalangi dia untuk menyembelih hewan qurbannya sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang awam [2].

Dan jika mengambil/memotongnya itu disebabkan lupa atau tidak mengerti hukumnya, atau karena rambut tersebut rontok tanpa disengaja, maka tidak ada dosa baginya. Dan jika memang benar-benar sangat diperlukan untuk mengambil/memotongnya (karena darurat), maka yang demikian diperbolehkan baginya dan tidak terkenai tanggungan (dosa) sedikitpun, misalnya ketika kukunya patah yang menyebabkan gangguan padanya, sehingga dia harus memotongnya, ataupun rambutnya terurai ke bawah sampai mengenai kedua matanya sehingga dia harus menghilangkannya, dan juga karena sangat dibutuhkan untuk pengobatan luka dan yang semisalnya.

Beberapa Hukum Dan Adab Terkait Dengan Hari Raya ‘Idul Adh-ha Yang Penuh Barakah Ini

Saudaraku muslim, segala bentuk kebaikan adalah dengan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam semua aspek kehidupan kita. Dan segala bentuk kejelekan adalah dengan menyelisihi petunjuk Nabi kita. Oleh karena itulah kami bermaksud untuk menyebutkan kepada anda sebagian perkara yang disunnahkan untuk diamalkan ataupun diucapkan pada malam idul Adh-ha yang penuh barakah, hari Nahr (tanggal 10), dan tiga hari-hari Tasyriq (tanggal 11, 12, 13). Dan perkara-perkara tersebut telah kami ringkas dalam beberapa poin berikut :

Takbir

Disyari’atkan untuk mengumandangkan takbir sejak waktu fajar pada hari ‘Arafah (tanggal 9) sampai waktu ‘Ashr pada hari Tasyriq yang terakhir yaitu tanggal 13 Dzulhijjah. Allah Ta’ala berfirman:

وَاذكُرُواْ اللهَ فِي أَيَامٍ مَعدُودَاتٍ.

“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” (Al Baqarah: 203)

Dan lafazh Takbir adalah:

الله أكبر الله أكبر، لا إله إلا الله، والله أكبر الله أكبر ولله الحمد

Dan disunnahkan untuk mengeraskannya bagi laki-laki, baik di masjid-masjid, pasar-pasar, rumah-rumah, dan setiap selesai shalat dalam rangka memperlihatkan keagungan Allah dan menampakkan ibadah dan rasa syukur kepada-Nya.

Menyembelih Hewan Qurban.

Dilakukan setelah pelaksanaan Shalat ‘Id, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

من ذبح قبل أن يصلي فليعد مكانها أخرى، ومن لم يذبح فليذبح.

“Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat ‘Id, maka hendaklah dia menggantinya dengan yang lain, dan barangsiapa yang belum menyembelih (setelah shalat ‘Id), maka lakukanlah penyebelihan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dan waktu penyembelihan itu ada empat hari : hari Nahr (tanggal 10) dan tiga hari-hari Tasyriq (11, 12, 13), berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

كل أيام التشريق ذبح.

“Semua hari-hari tasyriq adalah (waktu) penyembelihan.” (HR. Ahmad. Lihat As-Silsilah Ash-Shahihah no. 2476)

Mandi, Memakai Wewangian dan Memakai Baju Paling Bagus Bagi Laki-Laki tanpa berlebihan dan tidak isbal (Memanjangkan kain celana/sarung sampai melebihi mata kaki)

Dan tidak pula memotong jenggot karena ini semua adalah sesuatu yang diharamkan.

Adapun kaum wanita, maka disyari’atkan baginya untuk keluar ke mushalla ‘id tanpa tabarruj (berhias) dan memakai wewangian. Tidak sah jika melakukan ketaatan kepada Allah dan melakukan shalat, tetapi pada yang saat bersamaan bermaksiat kepada-Nya dengan melakukan tabarruj, tidak memakai hijab (cadar), dan memakai wewangian di hadapan laki-laki.

Makan Dari Hewan Sembelihan

Dahulu Rasulullah tidak makan sampai beliau pulang dari mushalla (tempat shalat ‘Id) dan kemudian memakan daging sembelihannya. (Zadul Ma’ad I/441)

Pergi ke Mushalla (Tempat Shalat) ‘Id dengan Berjalan Kaki, jika mudah baginya.

Dan menurut sunnah adalah shalat ‘id itu dilakukan di mushalla [3] kecuali jika di sana ada udzur seperti hujan, maka shalat di masjid berdasarkan amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Shalat ‘Id Hukumnya Wajib, Adapun Menghadiri Khuthbah ‘Id Hukumnya Sunnah.

Masalah yang ditarjihkan oleh para muhaqqiqun (peneliti) dari kalangan para ‘ulama, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, adalah bahwa shalat ‘id itu hukumnya wajib, berdasarkan firman Allah ta’ala:

فَصَلِّ لِرَبِكَ وَانحَر.

“Maka Dirikanlah shalat tarena Rabbmu; dan berqurbanlah.” (Al Kautsar: 2)


Dan kewajiban tersebut tidak akan gugur kecuali jika ada udzur. Para wanita juga (diwajibkan) menghadiri shalat ‘id bersama dengan kaum muslimin lainnya walaupun sedang mengalami haid maupun yang sedang berada dalam pingitan. Akan tetapi para wanita haid diharuskan berada pada posisi yang terpisah dengan mushalla.

Melewati Jalan yang Berbeda (Jalan Berangkat Berbeda dengan Jalan Pulang)

Disunnahkan bagi anda untuk pergi ke mushalla ‘id dengan melewati jalan tertentu dan ketika pulang dengan melewati jalan yang lain karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbuat yang demikian.

Mengucapkan Selamat Hari Raya, karena hal ini pernah dilakukan para shahabat Rasulullah.


Hati-Hati Dari Kesalahan Yang Sering Terjadi Pada Hari Raya

Berhati-hatilah wahai saudaraku muslim dari ketergelinciran kepada kesalahan yang banyak terjadi di tengah-tengah manusia, di antara kesalahan tersebut adalah:

1. Mengumandangkan takbir secara bersama-sama dengan satu suara (serempak) atau mengulang-ulang takbir di belakang seorang yang mengumandangkannya.

2. Melakukan permainan pada hari ‘id dengan sesuatu yang haram, seperti mendengarkan musik, menonton film, ikhthilat (bercampur baurnya laki-laki dan perempuan) yang bukan mahramnya, dan yang lainnya dari bentuk-bentuk kemungkaran.

3. Mengambil (menggunting) rambut dan memotong kuku walaupun sedikit sebelum menyembelih hewan qurbannya bagi yang akan berqurban karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang yang demikian.

4. Berlebihan dan boros (dalam menghamburkan harta) untuk sesuatu yang tidak ada manfaat dan mashlahatnya berdasarkan firman Allah ta’ala:

وَلا تُسرِفُوا إِنّهُ لا يُحِبُّ المُسرِفِينَ.

“Dan janganlah kalian berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (Al An’am: 141)

Dan sebagai penutup, jangan lupa wahai saudaraku muslim untuk bersemangat dalam beramal kebajikan seperti silaturrahim, mengunjungi kerabat, meninggalkan sikap saling membenci, hasad, dan tidak suka kepada saudaranya, serta berupaya untuk membersihkan hati dari itu semua, menyantuni fakir miskin dan anak yatim, membantu mereka, dan berusaha menggembirakan mereka.

Kami memohon kepada Allah untuk memberikan taufiq-Nya kepada kita untuk beramal dengan amalan yang dicintai dan diridhai-Nya, dan agar Allah memberikan kepahaman terhadap agama kita, dan agar Allah menjadikan kita termasuk di antara hamba-hamba-Nya yang bisa beramal pada hari-hari ini -sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah- dengan amalan yang shalih dan ikhlas semata-mata mengharapkan wajah-Nya yang mulia.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين.

Diambil dari Maqalat Wa Fatawa Wa Rasail

Fadhilatusy Syaikh Al ‘Allamah Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullahu ta’ala.

diterjemahkan oleh : Ust. Abu ‘Abdillah Kediri dan Abu ‘Amr Ahmad

[1] Tanggal 10 Dzulhijjah.

[2] Sebagian orang awam berkeyakinan kalau orang yang hendak berqurban memotong rambut, kuku, maupun kulitnya pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah, maka dia harus membatalkan niatnya untuk berqurban tersebut. Ini adalah keyakinan yang keliru.

[3] Yakni selain masjid. Namun di luar masjid, berupa tanah yang lapang, kosong, dan luas yang diistilahkan mushalla. Biasanya terletak di pinggir desa/kampung.

Sumber:www.assalafy.org

13 November 2009

Pendaftaran Thullab Baru tahun 1431 H

Ma’had As Salafy Jember
Jl. W. Monginsidi V No. 99 Sumbersalak, Kranjingan, Sumbersari, Jember 68123
Membuka Pendaftaran Thullab (Santri) Baru
Program Takhoshshush
MASA PENDIDIKAN
Pendidikan berlangsung minimal 5 tahun, meliputi 2 jenjang :
A. PROGRAM I’DADY (tahun pertama), merupakan jenjang persiapan untuk bisa masuk ke jenjang takhoshshush, materi yang dipelajari :
 ‘Ulum Al Qur’an (Al Qiro’ah, At Tajwid, Al Hifzh)
 Dasar-dasar Al Aqidah dan Al Lughoh Al ‘Arabiyah
B. PROGRAM TAKHOSHSHUSH (tahun berikutnya).
PERSYARATAN
 Laki-laki, usia minimal 17 tahun
 Dapat membaca Al Qur’an
 Sanggup mengikuti pendidikan minimal selama 5 (lima) tahun
 Lulus tes
BIAYA PENDIDIKAN
 Pendaftaran : Rp 25.000,-
 SPP (termasuk makan)/bulan : Rp200.000,-
 Perlengkapan, dan perawatan : Rp400.000,-
WAKTU DAN TEMPAT PENDAFTARAN
A. WAKTU PENDAFTARAN :
 Sejak diumumkan sampai dengan 21 Muharrom 1431 H yang insya Allah bertepatan dengan hari Kamis, tanggal 7 Januari 2010.
B. PENDAFTARAN DAN INFORMASI : Via telepon atau SMS.
 HP. : 081336017783, 081913041919.
LAIN-LAIN
 Semua calon thullab (santri) yang mendaftarkan diri baru diperkenankan hadir di Ma’had As Salafy Jember pada hari Senin tanggal 4 Januari 2010.

27 Agustus 2009

Audio: Islam Membawa Kedamaiaan & Rahmat, Bukan Teror

Kajian dibawakan oleh Al Ustadz Dzulqarnain hafidzahulloh.
Silahkan klik di sini untuk mendengarkan atau mendownloadnya. Barokallohu fikum.

Nasehat Kepada Teroris

بسم الله الرحمن الرحيم

Nasehat Kepada Teroris

(Disertai Peringatan: Cadar, Celana Ngatung dan Janggut Bukan Ciri-ciri Teroris)

oleh: al-Ustadz Abu Abdillah Sofyan Chalid -hafizhahullah-

Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita mengadukan segala fitnah dan ujian yang mendera, akibat ulah sekolompok anak muda yang hanya bermodalkan semangat belaka dalam beragama namun tanpa disertai kajian ilmu syar’i yang mendalam dari al-Qur’an dan as-Sunnah serta bimbingan para Ulama, kini ummat Islam secara umum dan Ahlus Sunnah (orang-orang yang komitmen dengan Sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam) secara khusus harus menanggung akibatnya berupa celaan dan citra negatif sebagai pendukung terorisme.

Aksi-aksi terorisme yang sejatinya sangat ditentang oleh syari’at Islam yang mulia ini justru dianggap sebagai bagian dari jihad di jalan Allah, sehingga pelakunya digelari sebagai mujahid, apabila ia mati menjadi syahid, pengantin surga dan calon suami bidadari…

Demi Allah, akal dan agama mana yang mengajarkan terorisme itu jihad…?! Akal dan agama mana yang mengajarkan buang bom di sembarang tempat itu amal saleh…?!

Maka berikut ini kami akan menunjukkan beberapa penyimpangan terorisme dari Syari’at Islam dan menjelaskan beberapa hukum jihad syar’i yang diselisihi para Teroris, berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah serta keterangan para Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah para pengikut generasi Salaf (generasi Sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam).
Pelanggaran- pelanggaran hukum Jihad Islami yang dilakukan Teroris:
Pelanggaran Pertama: Tidak memenuhi syarat-syarat Jihad Islami
Jihad melawan orang kafir terbagi dua bentuk; jihad difa’ (defensif, membela diri) dan jihad tholab (ofensif, memulai penyerangan lebih dulu), adapun yang dilakukan oleh para Teroris tidak diragukan lagi adalah jihad ofensif, sebab jelas sekali mereka yang lebih dulu menyerang, bahkan menyerang orang yang tidak bersenjata.
Dalam jihad defensif, ketika ummat Islam diserang oleh musuh maka kewajiban mereka untuk membela diri tanpa ada syarat-syarat jihad yang harus dipenuhi (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Al-Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah hal. 532 dan Al-Fatawa Al-Kubrô 4/608).

Namun untuk ketegori jihad ofensif terdapat syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi sebelum melakukan jihad tersebut. Disinilah salah satu perbedaan mendasar antara jihad dan terorisme. Bahwa jihad terikat dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah Ta’ala dalam syari’at-Nya, sedangkan terorisme justru menerjang aturan-aturan tersebut. Maka inilah syarat-syarat jihad ofensif kepada orang-orang kafir yang dijelaskan para Ulama:
Syarat Pertama: Jihad tersebut dipimpin oleh seorang kepala negara
Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ يُطِعِ الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ يَعْصِ الْأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي وَإِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ

“Siapa yang taat kepadaku maka sungguh ia telah taat kepada Allah, dan siapa yang bermaksiat terhadapku maka sungguh ia telah bermaksiat kepada Allah. Dan siapa yang taat kepada pemimpin maka sungguh ia telah taat kepadaku, dan siapa yang bermaksiat kepada pemimpin maka sungguh ia telah bermaksiat kepadaku. Dan sesungguhnya seorang pemimpin adalah tameng, dilakukan peperangan dibelakangnya, dan dijadikan sebagai pelindung.” (HR. Al-Bukhary no. 2957 (konteks di atas milik Al-Bukhary), Muslim no. 1835, 1841, Abu Daud no. 2757 dan An-Nasa`i 7/155).

Berkata al-Imam an-Nawawy rahimahullah, “Dan makna “dilakukan peperangan dibelakangnya” yaitu dilakukan peperangan bersamanya melawan orang-orang kafir, Al-Bughôt (para pembangkang terhadap penguasa), kaum khawarij dan seluruh pengekor kerusakan dan kezholiman.” (Syarah Muslim 12/230).

Syarat Kedua: Jihad tersebut harus didukung dengan kekuatan yang cukup untuk menghadapi musuh. Sehingga apabila kaum Muslimin belum memiliki kekuatan yang cukup dalam menghadapi musuh, maka gugurlah kewajiban tersebut dan yang tersisa hanyalah kewajiban untuk mempersiapkan kekuatan

Allah Subhânahu wa Ta’âlâ menegaskan :“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh Allah dan (yang juga) musuh kalian serta orang-orang selain mereka yang kalian tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.” (QS. Al-Anfâl : 60)

Diantara dalil akan gugurnya kewajiban jihad bila tidak ada kemampuan, adalah hadits An-Nawwâs bin Sam’ân radhiyallâhu ‘anhu tentang kisah Nabi ‘Isâ ‘alaissalâm membunuh Dajjal…, kemudian disebutkan keluarnya Ya`jûj dan Ma`jûj,

…فَبَيْنَمَا هُوَ كَذَلِكَ، إِذْ أَوْحَى اللهُ إِلَى عِيْسَى: إِنِّيْ قَدْ أَخْرَجْتُ عِبَاداً لِيْ لَا يَدَانِ لِأَحَدٍ بِقِتَالِهِمْ، فَحَرِّزْ عِبَادِيْ إِلَى الطُّوْرِ وَيَبْعَثُ اللَّهُ يَأْجُوْجَ وَمَأْجُوْجَ وَهُمْ مِنْ كُلِّ حَدَبٍ يَنْسِلُونَ …

“…Dan tatkala (Nabi ‘Isâ) dalam keadaan demikian, maka Allah mewahyukan kepada (Nabi) ‘Isâ, “Sesungguhnya Aku akan mengeluarkan sekelompok hamba yang tiada tangan (baca: kekuatan) bagi seorangpun untuk memerangi mereka, maka bawalah hamba-hamba- Ku berlindung ke (bukit) Thûr.” Kemudian Allah mengeluarkan Ya`jûj dan Ma`jûj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi….” (HR. Muslim no. 2937 dan Ibnu Majah no. 4075).

Perhatikan hadits ini, tatkala kekuatan Nabi ‘Isâ ‘alaissalâm dan kaum muslimin yang bersama beliau waktu itu lemah untuk menghadapi Ya`jûj dan Ma`jûj, maka Allah tidak memerintah mereka untuk mengobarkan peperangan dan menegakkan jihad bahkan mereka diperintah untuk berlindung ke bukit Thûr.

Demikian pula, ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan para Sahabat masih lemah di Makkah, Allah Ta’ala melarang kaum Muslimin untuk berjihad, padahal ketika itu kaum Muslimin mendapatkan berbagai macam bentuk kezhaliman dari orang-orang kafir.
Berkata Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâh, “Dan beliau (Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam) diperintah untuk menahan (tangan) dari memerangi orang-orang kafir karena ketidakmampuan beliau dan kaum muslimin untuk menegakkan hal tersebut. Tatkala beliau hijrah ke Madinah dan mempunyai orang-orang yang menguatkan beliau, maka beliaupun diizinkan untuk berjihad.” (Al-Jawâb Ash-Shohîh 1/237).

Syarat Ketiga: Jihad tersebut dilakukan oleh kaum Muslimin yang memiliki wilayah kekuasaan
Perkara ini nampak jelas dari sejarah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, bahwa Beliau diizinkan berjihad oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika telah terbentuknya satu kepemimpinan dengan Madinah sebagai wilayahnya dan beliau sendiri sebagai pimpinannya.

Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, “Awal disyariatkannya jihad adalah setelah hijrahnya Nabi shollallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam ke Madinah menurut kesepakatan para ulama.” (Fathul Bari 6/4-5 dan Nailul Authar 7/246-247).

Demikianlah syarat-syarat jihad dalam syari’at Islam. Adapun dari sisi akal sehat, bahwa tujuan jihad adalah untuk meninggikan agama Allah Ta’ala sehingga Islam menjadi terhormat dan berwibawa di hadapan musuh, hal ini tidak akan tercapai apabila tidak dipersiapkan dengan matang dengan suatu kekuatan, persiapan dan pengaturan yang baik. Maka ketika syarat-syarat di atas tidak terpenuhi, sebagaimana dalam aksi-aksi terorisme, hasilnya justru bukan membuat Islam menjadi tinggi, malah memperburuk citra Islam, sebagaimana yang kita saksikan saat ini.
Pelanggaran Kedua: Memerangi orang kafir sebelum didakwahi dan ditawarkan apakah memilih Islam, membayar jizyah atau perang

Pelanggaran ini menunjukkan kurangnya semangat para Teroris untuk mengusahakan hidayah kepada manusia dan semakin jauh dari tujuan jihad itu sendiri, padahal hakekat jihad hanyalah sarana untuk menegakkan dakwah kepada Allah Ta’ala.
Ini juga merupakan bukti betapa jauhnya mereka dari pemahaman yang benar tentang jihad, sebagaimana tuntunan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam kepada para Mujahid yang sebenarnya, yaitu para Sahabat radhiyallahu ‘anhum. Dalam hadits Buraidah radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَمَّرَ أَمِيْرًا عَلَى جَيْشٍ أَوْ سَرِيَّةٍ أَوْصَاهُ فِيْ خَاصَّتِهِ بِتَقْوَى اللهِ وَمَنْ مَعَهُ مِنْ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرًا ثُمَّ قَالَ أُغْزُوْا بِاسْمِ اللهِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ قَاتِلُوْا مَنْ كَفَرَ بِاللهِ أُغْزُوْا وَلاَ تَغُلُّوْا وَلاَ تَغْدِرُوْا وَلاَ تُمَثِّلُوْا وَلاَ تَقْتُلُوْا وَلِيْدًا وَإِذَا لَقِيْتَ عَدُوَّكَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلاَثِ خِصَالٍ فَأَيَّتُهُنَّ مَا أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى الْإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمُ الْجِزْيَةَ فَإِنْ هُمْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَقَاتِلْهُمْ

“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa âlihi wa salllam apabila beliau mengangkat amir/pimpinan pasukan beliau memberikan wasiat khusus untuknya supaya bertakwa kepada Allah dan (wasiat pada) orang-orang yang bersamanya dengan kebaikan. Kemudian beliau berkata, “Berperanglah kalian di jalan Allah dengan nama Allah, bunuhlah siapa yang kafir kepada Allah, berperanglah kalian dan jangan mencuri harta rampasan perang dan janganlah mengkhianati janji dan janganlah melakukan tamtsîl (mencincang atau merusak mayat) dan janganlah membunuh anak kecil dan apabila engkau berjumpa dengan musuhmu dari kaum musyrikin dakwailah mereka kepada tiga perkara, apa saja yang mereka jawab dari tiga perkara itu maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka ; serulah mereka kepada Islam apabila mereka menerima maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka, apabila mereka menolak maka mintalah jizyah (upeti) dari mereka dan apabila mereka memberi maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka, apabila mereka menolak maka mintalah pertolongan kepada Allah kemudian perangi mereka”. (HR. Muslim no. 1731, Abu Dâud no. 2613, At-Tirmidzy no. 1412, 1621, An-Nasâ`i dalam As-Sunan Al-Kubrô no. 8586, 8680, 8765, 8782 dan Ibnu Mâjah no. 2857, 2858).
Pelanggaran Ketiga: Membunuh orang Muslim dengan sengaja

Kami katakan bahwa mereka sengaja membunuh orang Muslim yang tentu sangat mungkin berada di lokasi pengeboman karena jelas sekali bahwa negeri ini adalah negeri mayoritas Muslim, dan mereka sadar betul di sini bukan medan jihad seperti di Palestina dan Afganistan, bahkan mereka tahu dengan pasti kemungkinan besar akan ada korban Muslim yang meninggal.

Tidakkah mereka mengetahui adab Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sebelum menyerang musuh di suatu daerah?! Disebutkan dalam hadits Anas bin Mâlik radhiyallâhu ‘anhu:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا غَزَا بِنَا قَوْمًا لَمْ يَكُنْ يَغْزُوْ بِنَا حَتَّى يُصْبِحَ وَيَنْظُرَ فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا كَفَّ عَنْهُمْ وَإِنْ لَمْ يَسْمَعْ أَذَانًا أَغَارَ عَلَيْهِمْ
“Sesungguhnya Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam apabila bersama kami untuk memerangi suatu kaum, beliau tidak melakukan perang tersebut hingga waktu pagi, kemudian beliau menunggu, apabila beliau mendengar adzan maka beliau menahan diri dari mereka dan apabila beliau tidak mendengar adzan maka beliau menyerang mereka secara tiba-tiba. ”(HR. Al-Bukhâri no. 610, 2943, Muslim no. 382, Abu Daud no. 2634, dan At-Tirmidzy no. 1622).
Tidakkah mereka mengetahui betapa terhormatnya seorang Muslim itu?! Tidakkah mereka mengetahui betapa besar kemarahan Allah Ta’ala atas pembunuh seorang Muslim?!
Allah Ta’ala berfirman: “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya”. (QS. An-Nisâ` : 93)

Dan Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menegaskan:
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
“Sungguh sirnanya dunia lebih ringan di sisi Allah dari membunuh (jiwa) seorang muslim.” (Hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma riwayat At-Tirmidzy no. 1399, An-Nasa`i 7/ 82, Al-Bazzar no. 2393, Ibnu Abi ‘ashim dalam Az-Zuhd no. 137, Al-Baihaqy 8/22, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 7/270 dan Al-Khathib 5/296. Dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany rahimahullah dalam Ghayatul Maram no. 439).
Pelanggaran Keempat: Membunuh orang kafir tanpa pandang bulu
Inilah salah satu pelanggaran Teroris dalam berjihad yang menunjukkan pemahaman mereka yang sangat dangkal tentang hukum-hukum agama dan penjelasan para Ulama.
Ketahuilah, para Ulama dari masa ke masa telah menjelaskan bahwa tidak semua orang kafir yang boleh untuk dibunuh, maka pahamilah jenis-jenis orang kafir berikut ini:
Pertama, kafir harbiy, yaitu orang kafir yang memerangi kaum Muslimin, inilah orang kafir yang boleh untuk dibunuh.

Kedua, kafir dzimmy, yaitu orang kafir yang tinggal di negeri kaum Muslimin, tunduk dengan aturan-aturan yang ada dan membayar jizyah (sebagaimana dalam hadits Buraidah di atas), maka tidak boleh dibunuh.

Ketiga, kafir mu’ahad, yaitu orang kafir yang terikat perjanjian dengan kaum Muslimin untuk tidak saling berperang, selama ia tidak melanggar perjanjian tersebut maka tidak boleh dibunuh.

Keempat, kafir musta’man, yaitu orang kafir yang mendapat jaminan keamanan dari kaum Muslimin, atau sebagian kaum Muslimin, maka tidak boleh kaum Muslimin yang lainnya untuk membunuh orang kafir jenis ini. Dan termasuk dalam kategori ini adalah para pengunjung suatu negara yang diberi izin masuk oleh pemerintah kaum Muslimin untuk memasuki wilayahnya.

Banyak dalil yang melarang pembunuhan ketiga jenis orang kafir di atas, bahkan terdapat ancaman yang keras dalam sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam:
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيْحَهَا تُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ عَامًا
“Siapa yang membunuh kafir mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga dan sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun”. (HR. Al-Bukhary no. 3166, 6914, An-Nasa`i 8/25 dan Ibnu Majah no. 2686).
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berpendapat bahwa kata mu’ahad dalam hadits di atas mempunyai cakupan yang lebih luas. Beliau berkata, “Dan yang diinginkan dengan (mu’ahad) adalah setiap yang mempunyai perjanjian dengan kaum muslimin, baik dengan akad jizyah (kafir dzimmy), perjanjian dari penguasa (kafir mu’ahad), atau jaminan keamanan dari seorang muslim (kafir musta’man).” (Fathul Bary 12/259).
(Disarikan dari buku Meraih Kemuliaan melalui Jihad Bukan Kenistaan, karya Al-Ustadz Dzulqarnain hafizhahullah. Semua dalil, takhrij hadits dan perkataan Ulama di atas dikutip melalui perantara buku tersebut, jazallahu muallifahu khairon).
Peringatan: Cadar, Celana Ngatung dan Janggut bukan Ciri-ciri Teroris
Ketahuilah wahai kaum Muslimin, menggunakan cadar bagi wanita muslimah, mengangkat celana jangan sampai menutupi mata kaki dan membiarkan janggut tumbuh bagi seorang laki-laki Muslim adalah kewajiban agama dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan terorisme, sebagaimana yang akan kami jelaskan nanti bukti-buktinya insya Allah dari al-Qur’an dan as-Sunnah serta penjelasan para Ulama ummat.
Benar bahwa sebagian Teroris juga mengamalkan kewajiban-kewajiban di atas, namun apakah setiap yang mengamalkannya dituduh Teroris?! Kalau begitu bersiaplah menjadi bangsa yang teramat dangkal pemahamannya… Maka inilah keterangan ringkas yang insya Allah dapat meluruskan kesalah pahaman.
Pertama: Dasar kewajiban menggunakan cadar bagi Muslimah
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)
Perhatikanlah, ayat ini memerintahkan para wanita untuk menutup seluruh tubuh mereka tanpa kecuali. Berkata As-Suyuthi rahimahullah, “Ayat hijab ini berlaku bagi seluruh wanita, di dalam ayat ini terdapat dalil kewajiban menutup kepala dan wajah bagi wanita.” (Lihat Hirasatul Fadhilah, hal. 51, karya Asy-Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid rahimahullah) .
Istri Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang mulia: ‘Aisyah radhiyallahu’anha dan para wanita di zamannya juga menggunakan cadar, sebagaimana penuturan ‘Aisyah radhiyallahu’anha berikut:
“Para pengendara (laki-laki) melewati kami, di saat kami (para wanita) berihram bersama-sama Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam. Maka jika mereka telah dekat kepada kami, salah seorang di antara kami menurunkan jilbabnya dari kepalanya sampai menutupi wajahnya. Jika mereka telah melewati kami, maka kami membuka wajah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain).
Kedua: Dasar kewajiban mengangkat celana, jangan sampai menutupi mata kaki bagi laki-laki Muslim
Banyak sekali dalil yang melarang isbal (memanjangkan pakaian sampai menutupi mata kaki), diantaranya sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu:
“Bagian kain sarung yang terletak di bawah kedua mata kaki berada di dalam neraka.” (HR. Al-Bukhori, no. 5787).
Dan hadits ‘Aisyah radhiyallahu’anha:
“Bagian kain sarung yang terletak di bawah mata kaki berada di dalam neraka.” (HR. Ahmad, 6/59,257).
Ketiga: Dasar kewajiban membiarkan janggut tumbuh bagi laki-laki Muslim
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memotong kumis dan membiarkan janggut.” (HR. Muslim no. 624).
Juga dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Berbedalah dengan orang-orang musyrik; potonglah kumis dan biarkanlah janggut.” (HR. Muslim no. 625).
Dan masih banyak hadits lain yang menunjukkan perintah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam untuk membiarkan janggut tumbuh, sedang perintah hukum asalnya adalah wajib sepanjang tidak ada dalil yang memalingkannya dari hukum asal.
Demikianlah penjelasan ringkas dari kami, semoga setelah mengetahui ini kita lebih berhati-hati lagi dalam menyikapi orang-orang yang mengamalkan sejumlah kewajiban di atas. Tentu sangat tidak bijaksana apabila kita mengeneralisir setiap orang yang nampak kesungguhannya dalam menjalankan agama sebagai teroris atau bagian dari jaringan teroris, bahkan minimal ada dua resiko berbahaya apabila seorang mencela dan membenci satu kewajiban agama atau membenci orang-orang yang mengamalkannya (disebabkan karena amalan tersebut):
Pertama: Berbuat zhalim kepada wali-wali Allah, sebab wali-wali Allah adalah orang-orang yang senantiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, baik perintah itu wajib maupun sunnah. Dan barangsiapa yang memusuhi wali Allah dia akan mendapatkan kemurkaan Allah ‘Azza wa Jalla.
Allah Ta’ala berfirman: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa”. (Yunus: 62-63)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berkata : Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman, ‘Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku maka Aku umumkan perang terhadapnya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih aku cintai daripada amal yang Aku wajibkan kepadanya. Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal-amal sunnah sampai Aku mencintainya. Apabila Aku sudah mencintainya maka Akulah pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, Akulah pandangannya yang dia gunakan untuk melihat, Akulah tangannya yang dia gunakan untuk berbuat, Akulah kakinya yang dia gunakan untuk melangkah. Kalau dia meminta kepada-Ku pasti akan Aku beri. Dan kalau dia meminta perlindungan kepada-Ku pasti akan Aku lindungi.’.” (HR. Bukhari, lihat hadits Arba’in ke-38).
Faidah: Para Ulama menjelasakan bahwa makna, “Akulah pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, Akulah pandangannya yang dia gunakan untuk melihat, Akulah tangannya yang dia gunakan untuk berbuat, Akulah kakinya yang dia gunakan untuk melangkah” adalah hidayah dari Allah Ta’ala kepada wali-Nya, sehingga ia tidak mendengar kecuali yang diridhai Allah, tidak melihat kepada apa yang diharamkan Allah dan tidak menggunakan kaki dan tangannya kecuali untuk melakukan kebaikan.
Kedua: Perbuatan tersebut bisa menyebabkan kekafiran, sebab mencela dan membenci satu bagian dari syari’at Allah Jalla wa ‘Ala, baik yang wajib maupun yang sunnah, atau membenci pelakunya (disebabkan karena syari’at yang dia amalkan) merupakan kekafiran kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala.
Berkata Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah pada pembatal keislaman yang kelima:
“Barangsiapa membenci suatu ajaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam walaupun dia mengamalkannya, maka dia telah kafir.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Yang demikian karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al-Qur’an) lalu Allah menghapuskan amalan-amalan mereka.” (Muhammad: 9)
Maka berhati-hatilah wahai kaum Muslimin.
Dan kepada Ikhwan dan Akhwat yang telah diberikan hidayah oleh Allah untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban di atas hendaklah bersabar dan tetap tsabat (kokoh) di atas sunnah, karena memang demikianlah konsekuensi keimanan, mesti ada ujian yang menyertainya.
Dan wajib bagi kalian untuk senantiasa menuntut ilmu agama dan menjelaskan kepada ummat dengan hikmah dan lemah lembut, serta hujjah yang kuat agar terbuka hati mereka insya Allah, untuk menerima kebenaran ilmu yang berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah, bukan pemahaman Teroris. Wallohul Musta’an.

Tanah Baru, Depok, 3 Ramadhan 1430 H

08 Agustus 2009

Situs Baru Ulama Kuwait

Assalamu'alaikum.
Alhamdulillah, telah hadir satu lagi situs milik seorang Ulama Salafi di Kuwait. Beliau adalah Syeikh Salim bin Saad Al Taweel (Abu Saad) hafidzahulloh, salah satu murid yang dekat dengan Syeikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahulloh dan juga belajar kepada Syeikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahulloh dan beberapa ulama ahlus sunnah lainnya.
Silahkan kunjungi: www.saltaweel.com

29 Juli 2009

Download Rekaman Dauroh Ke-5 bersama Para Ulama

Alhamdulillah, puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah Ta’ala, karena Muhadharah bersama para Ulama Sunnah dengan tema “Jalan Keluar dari Problematika Hidup adalah Kembali kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, dengan bimbingan para Ulama” telah selesai dilaksanakan tanpa ada halangan berarti.

Ucapan terimakasih juga panitia haturkan kepada seluruh pihak yang telah berperan serta mensukseskan acara tersebut.

Selengkapnya silahkan kunjungi: www.salafy.or.id

12 Juni 2009

DAURAH ILMIAH AHLUS SUNNAH BERSAMA MASYAYIKH TAHUN 1430 - 2009

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله
وبعد

DAURAH ILMIAH AHLUS SUNNAH BERSAMA MASYAYIKH
TAHUN 1430 - 2009

Alhamdulillah, segala pujian yang sempurna hanyalah milik Allah semata. Shalawat
dan salam semoga selalu terlimpah kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wassallam, keluarga, sahabat beliau dan orang-orang yang mengikuti beliau
hingga akhir masa.

Pada tahun 1430 H ini, insya Allah akan kembali diselenggarakan
daurah ilmiah bersama para masyayikh Ahlus Sunnah dari Timur Tengah.

Daurah yang kelima ini insya Allah akan menghadirkan
beliau, hafizhahumullahu jami’an :
1. Asy-Syaikh Dr. ‘Abdullah bin
‘Abdurrahim Al-Bukhari (Saudi Arabia)
2. Asy-Syaikh ‘Abdullah ibn Shalfiq Azh-Dzufairi (Saudi Arabia)
3. Asy-Syaikh ‘Ali ibn Yahya Al-Haddadi (Saudi Arabia)
4. Asy-Syaikh Khalid ibn Dhahwi Azh-Zhafiri (Kuwait)

Tema :
“Jalan Keluar dari Problematika Hidup adalah
Kembali kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, dengan bimbingan para Ulama”


Daurah insya Allah akan dilaksanakan pada:
Waktu:
Hari Sabtu – Senin, Tanggal 25 – 27 Juli 2009 / 2 - 4 Sya'ban 1430 H
Pukul 09.00 WIB - selesai

Tempat:

Masjid Agung Manunggal, Bantul, DIY **)

Peserta :

Umum (ikhwan/laki-laki)
(Akhwat/ummahat mengikuti lewat link di beberapa tempat *))

Informasi selengkapnya silakan menghubungi panitia sbb :
Alamat : Jl Godean Km 5, Gg Kenanga 26B, Patran RT 1/RW 1, Banyuraden, Gamping, Sleman, DIY
Email : redaksi @ majalahsyariah.com
(Dapatkan info otomatis, kirim email kosong ke alamat daurah @ salafy.or.id)
Telpon : +62.81328022770 +62.274.626439

>>> Diharapkan menyebarkan informasi ini secara luas dengan alamat halaman situs ini http://daurah.salafy.or.id. Apabila ada perubahan, insya Allah akan diinformasikan lewat situs ini atau majalah Asy Syariah. Update terakhir 11 Juni 2009 pukul 07.00 WIB <<<

*** Insya Allah disiarkan lewat Paltalk, room Religion & Spirituality - Islam - Salafiyyin, nick name salafiyyin *** [Petunjuk pemakaian Paltalk, simak di www.salafy.or.id/upload/paltalk.zip ]


Jazakumullah khairan atas perhatian ikhwah semua.

Ttd

Panitia Pelaksana Daurah Ilmiah Ahlus Sunnah

Catatan :
*) Telelink untuk peserta wanita (ummahat/akhwat), insya Allah di
• Tarbiyatul Aulad Ibnu Taimiyyah, Jl. Palagan Tentara Pelajar, Sedan, alamat no 99 C RT 06/34, Dn Sedan, Ds. Sariharjo, Kec. Ngaglik, Sleman 55582
• TK/Ma’had Ar-Ridho Putra, Jalan Parang Tritis Km 6, RT 6, RW 46, Dn Dagaran, Kel Bangunrejo, Kec. Sewon, Bantul
• Tahfizh Putri, Ma'had Al-Anshar, Dn. Wonosalam, Ds. Sukoharjo, Kec. Ngaglik, Sleman
• TK Ar-Ridho Putri, Glagah Sari UH IV/ 538 RT 21/ RW 05 Kelurahan Warung Boto, Jogjakarta 55164
• Tahfizh Ar-Ridho Putri, Bedok RT 5 RW 25 No 22, Trihanggo Gamping, Sleman

**)
Rute menuju lokasi
1. Rute menuju lokasi dari Jakarta, Semarang, Surabaya, Solo via pesawat :
a. Menuju Bandara Adisutjipto, Jogjakarta
b. Naik taksi/ojek/kendaraan ke terminal Giwangan, Jogjakarta
c. Ikuti rute menuju lokasi Jogjakarta no 6

2. Rute menuju lokasi dari Jakarta, Surabaya, Solo via bus :
a. Turun di terminal Giwangan, Jogjakarta
b. Ikuti rute menuju lokasi Jogjakarta
no 6

3. Rute menuju lokasi dari Semarang via bus :
a. Turun di terminal Jombor, naik bus kota jurusan terminal Giwangan, Jogjakarta
b. Ikuti rute menuju lokasi Jogjakarta no 6

4. Rute menuju lokasi dari Jakarta, Semarang, Surabaya, Solo via kereta api :
a. Menuju stasiun Tugu/Lempuyangan, Jogjakarta
b. Naik bus kota menuju terminal Giwangan, Jogjakarta
c. Ikuti rute menuju lokasi Jogjakarta no 6

5. Rute menuju lokasi dari Jakarta, Semarang, Surabaya, Solo via kendaraan
pribadi :
a. Dari Jakarta, Purwokerto, Cilacap, Semarang, Surabaya, menuju Jogjakarta, setelah masuk Jogjakarta, temukan plang ke kota Bantul yang ada di Jl. Ringroad Selatan, perempatan Dongkelan.
b. Lantas arahkan kendaraan ke selatan masuk Jalan Bantul untuk menuju ke kota Bantul, sampai gapura kota Bantul. Ikuti jalan sampai perempatan pertama (Klodran). Lokasi masjid Agung Manunggal, Bantul dari utara di sebelah kanan

6. Rute menuju lokasi dari sekitar Jogjakarta :
a. Dari terminal Jombor/halte Trans Jogja, ke terminal Giwangan Jogjakarta, naik bus Koperasi Abadi jurusan Bantul turun di perempatan Klodran (Masjid Agung Bantul)
b. Dari terminal Giwangan Jogjakarta, naik bus Koperasi Abadi jurusan Bantul turun di perempatan Klodran (Masjid Agung Bantul)
c. Dari arah Semarang turun di perempatan Dongkelan (Jl. Ringroad Selatan), naik bus Koperasi Abadi turun di perempatan Klodran (Masjid Agung Bantul)

(Dikutip dari http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1459)

07 Maret 2009

Pembesar Turotsi Kuwait bersama Rafidhi

Bismillahirrohmanirrohim.
Assalamuálaikum warohmatullohi wabarokatuh.
Alhamdulillah álaa kulli haal washsholatu wassalamu álaa rosulillah wa álaa aalihi wa man waalah.
Amma ba'du:

Beberapa pekan yang lalu setelah acara ta'lim di Dewaniyah Syeikh Zaid Ad Dosary di Bayan, Kuwait, seorang ikhwah membawa selembar kertas dan memperlihatkan kepada Asy Syeikh, dan Syeikh Muhammad Al Anjari pun telah melihatnya kemudian, yaitu satu berita besar dari Surat Kabar Al Anba di Kuwait terbitan 1 Januari 2009 tentang acara 'persahabatan' di Dewaniyah seorang anggota Parlemen Kuwait yang merupakan salah satu anggota Ihya At Turots, yaitu Muhammad Al Kandari yang diadakan pada tanggal 31 Desember 2008 malam dalam rangka merespon terjadinya konflik di Gaza akibat serangan Israel ke wilayah itu. Di situ diperlihatkan bahwa "Perhimpunan Salafi" dengan tuan rumah Muhammad Al Kandari bersama Rafidhi dalam satu majelis Nadwah.
Pemberitaan ini benar adanya, tanpa rekayasa dan bukan berita bohong. Sampai hari ini (6 Maret 2009)pun tidak ada bantahan apapun dari At Turots berkenaan berita ini.
Kami lacak di website resmi surat kabar Al Anba, maka inilah buktinya, masih ada sampai sekarang.

Tampak pada gambar atas:
Nomor 1 dari kiri, di bawah gambar tertulis:
Ahmad Laari. Orang ini adalah salah satu anggota Parlemen Kuwait perwakilan SYI'AH. Mayorits Syiáh di Kuwait adalah Rafidhah, Ahmad Laari salah satunya. Dia bukan hanya diundang ke majelis Perhimpunan Salafi itu, tetapi bahkan diberi kesempatan untuk berceramah. Benar-benar mereka mempraktekkan prinsip demokrasi yang mereka anut sehingga orang Syiáh pun sama kedudukannya dengan mereka, karena memang sama-sama "wakil rakyat" di Parlemen Kuwait.
Sedangkan 4 orang berikutnya adalah: Khalid As Sulthan, Dr. Muhammad Al Kandari, Abdul Latif Al Umeiri dan Dr. Ali Al Umeiri ke-4 nya merupakan anggota Parlemen Kuwait perwakilan dari At Turots yang menamakam mereka dengan sebutan PERHIMPUNAN SALAFI.

Sedangkan pada gambar kedua di bawahnya:
Tampak Nadzim Al Misbah, seorang daí senior At Turots Kuwait sedang berbicara sementara di belakangnya sangat jelas ada seorang "sayyid" Syiáh dengan pakaian khasnya yang beda dengan lainnya (lihat no. 3 dari kiri). Kami tidak tahu namanya, tapi bisa dipastikan dia adalah seorang Syiáh dari model pakaiannya. Adapun 2 orang di sebelah kanannya kami tidak tahu apakah mereka itu Sunni atau Syiáh.
Acaranya mirip sekali dengan kebiasaan IM dalam menyikapi krisis di Gaza. Emosional dan berkumpul dengan Rafihdi pun tidak jadi masalah. Padahal mereka masih dengan lantangnya mengaku sebagai "Salafi" seperti tampak pada judul Nadwah "Gaza memanggil Kalian" yang diadakan oleh "Perhimpunan Salafi" ini. Mereka telah menunjukkan sikap "wasathiyah model At Turots."
Wallohul Mustaán.


Benar-benar penyamaran yang sudah ketahuan aslinya.
Maka, ambillah pelajaran! Dengarkan nasehat ulama kita! Tidak ragu lagi bahwa At Turots memang hizbi berkedok Salafi. Inilah salah satu buktinya.

Semoga bisa dijadikan sebagai nasehat bagi semua ikhwah salafi atau saudara kita yang belum tahu kenyataan At Turots Kuwait sekarang, di mana saja berada termasuk di Kuwait sendiri masih banyak yang belum faham.
Semoga Alloh memperbaiki urusan kita. Amin.
Wassalamuálaikum warohmatullohi wabarokatuh.

27 Februari 2009

Bukti: Hamas adalah IM

Bismillahirrahmanirrahim
Dalam video ini adalah penegasan kembali bahwa Hamas masih memberikan bai'atnya kepada IM dengan sangat jelas.
Perhatikanlah bagaimana cara mereka berbai'at!!!
1. Dengan mengangkat tangan seperti itukah?
2. Berpegang teguh dengan Da'wah Ikhwanul Muslimin? Kenapa tidak dengan Al Kitab dan As Sunnah Ash Shohihah?
3. Wal Jihad fiisabiiliha? (Dan Jihad di atas jalan IM?) Kenapa tidak fii sabilillah?

http://www.youtube.com/watch?v=VngBC9yxaac

وقبل أن يتقدَّم إسماعيل هنية بإلقاء كلمته تقدَّم الشيخ أبو أسامة دخان (عبد الفتاح دخان أحد مؤسسي حماس) وطلب من الجماهير رفع سواعدهم اليمنى إلى أعلى وأقسم- وهم من ورائه- القسم المشفوع باسم الله ولاءً لحركة الإخوان المسلمين (أعاهد الله العلي العظيم علي التمسك بدعوة الإخوان المسلمين والجهاد في سبيلها والقيام بشروط عضويتها والثقة التامة بقيادتها والسمع والطاعة في المنشط والمكره و أشهد الله علي ذلك وأبايع عليه والله علي ما أقوله وكيل).

Wallohul Musta'an

11 Februari 2009

Hindari Penggunaan Gambar ini!



بسم الله و الحمدلله و الصلاة و السلام على من لا نبي بعده

Menjelang tanggal 14 Februari yang menurut sebagian anak muda adalah hari kasih sayang (Valentine's Day) yang tidak jelas asal usulnya, akan kita temui berbagai macam hiasan di beberapa media, toko dan sebagainya, yaitu satu lambang atau logo yang menjadi simbol 'cinta' atau 'love' menurut anggapan mereka yaitu gambar mirip daun waru, ada yang menafsirkan sebagai bentuk hati atau lebih tepatnya yang dimaksud adalah jantung yang berwarna pink atau merah. Hal ini telah merambah ke dunia Islam dan tidak asing lagi sampai pun di negara-negara Arab. Inilah salah satu bukti bentuk tasyabuh kepada kaum musyrikin yang telah melanda sebagian kaum muslimin terutama dari kalangan anak mudanya (syabaabul Islam). Nas'alulloha As Salamah.
Syeikh Muhammad Al Anjari -hafidzahulloh- salah satu ulama salafi di Kuwait mengingatkan dan menasehati kita agar jangan meniru kebiasaan mereka yang mana itu berasal dari kaum musyrikin Nasrani. Beliau menyatakan bahwa lambang 'love' yang ada sekarang ini adalah bentuk dari 'love syahwati' yakni cintanya seorang laki-laki kepada perempuan atau sebaliknya. Sedangkan kecintaan kita kepada Alloh, RasulNya, kepada orang tua, guru, saudara atau kepada sesama muslim pada umumnya, bukanlah kecintaan syahwati seperti itu. Ini sudah dimaklumi bersama perbedaannya.
Maka, hindarilah penggunaan logo atau gambar tersebut walaupun sebagai ilustrasi karena pada dasarnya tidak tepat sebagai penggambaran kecintaan yang tulus, tetapi itu adalah simbol kecintaan syahwati.
Di Kuwait, ada satu yayasan yang sangat menonjolkan simbol/logo ini dengan tulisan bahasa Arab di tengahnya: محمد صلى الله عليه و سلم في قلب كلى مسلم : "Muhammad shalallohu 'alaihi wasalam di hati setiap muslim" seabagai ikon-nya, yakni Yayasan Wathakker. Tampaknya niat dari pembuat logo itu baik, tapi sayang dia tidak jeli melihat dari sisi tayabuhnya. Maka telitilah sebelum mempublikasikan.
و الله اعلم

08 Februari 2009

Baru, Satu lagi Website Salafi dari Kuwait

Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh,

Ikhwah sekalian, ini ada informasi bagus untuk kita semua. Kini telah hadir satu lagi situs salafi yang memuat tulisan-tulisan dari pemateri para masyayekh salafi yang berada di Kuwait.
Silahkan kunjungi: www.isfalah.com

Barokallohu fiikum.

26 Januari 2009

Sikap dan Kewajiban Umat Islam terhadap Tragedi Palestina

Berikut penjelasan yang disampaikan oleh Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin ‘Umar Bazmul hafizhahullah ketika beliau menjawab pertanyaan tentang apa sikap dan kewajiban kita terkait dengan peristiwa yang menimpa saudara-saudara kita di Ghaza - Palestina. Penjelasan ini beliau sampaikan pada hari Senin 9 Muharram 1430 H dalam salah satu pelajaran yang beliau sampaikan, yaitu pelajaran syarh kitab Fadhlul Islam. Semoga bermanfaat.

%%##%%

Kewajiban terkait dengan peristiwa yang menimpa saudara-saudara kita kaum muslimin di Jalur Ghaza Palestina baru-baru ini adalah sebagai berikut :

Pertama :


Merasakan besarnya nilai kehormatan darah (jiwa) seorang muslim. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ibnu Majah (no. 3932) dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar berkata : Saya melihat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sedang berthawaf di Ka’bah seraya beliau berkata (kepada Ka’bah) :

مَا أَطْيَبَكِ وَأَطْيَبَ رِيحَكِ مَا أَعْظَمَكِ وَأَعْظَمَ حُرْمَتَكِ، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَحُرْمَةُ الْمُؤْمِنِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ حُرْمَةً مِنْكِ مَالِهِ وَدَمِهِ

“Betapa bagusnya engkau (wahai Ka’bah), betapa wangi aromamu, betapa besar nilaimu dan besar kehormatanmu. Namun, demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh kehormatan seorang mukmin jauh lebih besar di sisi Allah dibanding engkau, baik kehormatan harta maupun darah (jiwa)nya.” [1])

Dalam riwayat At-Tirmidzi (no. 2032) dengan lafazh :

Dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallah ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam naik ke atas mimbar kemudian beliau berseru dengan suara yang sangat keras seraya berkata :

« يَا مَعْشَرَ مَنْ قَدْ أَسْلَمَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُفْضِ الإِيمَانُ إِلَى قَلْبِهِ! لاَ تُؤْذُوا الْمُسْلِمِينَ! وَلاَ تُعَيِّرُوهُمْ! وَلاَ تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ! فَإِنَّهُ مَنْ تَتَبَّعَ عَوْرَةَ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ وَلَوْ فِى جَوْفِ رَحْلِهِ »

“Wahai segenap orang-orang yang berislam dengan ucapan lisannya namun keimanannya tidak menyentuh qalbunya, janganlah kalian mengganggu kaum muslimin, janganlah kalian mencela mereka, dan janganlah kalian mencari-cari aib mereka. Karena barangsiapa yang mencari-cari aib saudaranya muslim, maka pasti Allah akan terus mengikuti aibnya. Barangsiapa yang diikuti oleh Allah segala aibnya, maka pasti Allah akan membongkarnya walaupun dia (bersembunyi) di tengah rumahnya.”

Maka suatu ketika Ibnu ‘Umar Radhiyallah ‘anhuma melihat kepada Ka’bah dengan mengatakan (kepada Ka’bah) : “Betapa besar kedudukanmu dan betapa besar kehormatanmu, namun seorang mukmin lebih besar kehormatannya di sisi Allah dibanding kamu.”

Al-Imam At-Tirmidzi berkata tentang kedudukan hadits tersebut : “Hadits yang hasan gharib.” Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi (no. 2032).

Seorang muslim apabila melihat darah kaum muslimin ditumpahkan, atau jiwa dibunuh, atau hati kaum muslimin diteror, maka tidak diragukan lagi pasti dia akan menjadikan ini sebagai perkara besar, karena terhormatnya darah kaum muslimin dan besarnya hak mereka.

Bagaimana menurutmu, kalau seandainya seorang muslim melihat ada orang yang hendak menghancurkan Ka’bah, ingin merobohkan dan mempermainkannya, maka betapa ia menjadikan hal ini sebagai perkara besar?!! Sementara Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam telah menegaskan bahwa “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh kehormatan seorang mukmin jauh lebih besar di sisi Allah dibanding engkau (wahai Ka’bah), baik kehormatan harta maupun darah (jiwa)nya.”

Maka perkara pertama yang wajib atas kita adalah merasakan betapa besar nilai kehormatan darah kaum mukminin yang bersih, yang baik, dan sebagai pengikut sunnah Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam, yang senantiasa berjalan di atas bimbingan Islam. Kita katakan, bahwa darah (kaum mukminin) tersebut memiliki kehormatan yang besar dalam hati kita.

Kita tidak ridha -demi Allah- dengan ditumpahkannya darah seorang mukmin pun (apalagi lebih), walaupun setetes darah saja, tanpa alasan yang haq (dibenarkan oleh syari’at). Maka bagaimana dengan kebengisan dan peristiwa yang dilakukan oleh para ekstrimis, orang-orang yang zhalim, para penjajah negeri yang suci, bumi yang suci dan sekitarnya??! Innalillah wa inna ilaihi raji’un!!

Maka tidak boleh bagi seorang pun untuk tidak peduli dengan darah (kaum mukminin) tersebut, terkait dengan hak dan kehormatan (darah mukminin), kehormatan negeri tersebut, dan kehormatan setiap muslim di seluruh dunia, dari kezhaliman tangan orang kafir yang penuh dosa, durhaka, dan penuh kezhaliman seperti peristiwa (yang terjadi sekarang di Palestina) walaupun kezhaliman yang lebih ringan dari itu.

Kedua :


Wajib atas kita membela saudara-saudara kita. Pembelaan kita tersebut harus dilakukan dengan cara yang syar’i. Cara yang syar’i itu tersimpulkan sebagai berikut :

- Kita membela mereka dengan cara do’a untuk mereka. Kita do’akan mereka pada waktu sepertiga malam terakhir, kita do’akan mereka dalam sujud-sujud (kita), bahkan kita do’akan dalam qunut (nazilah) yang dilakukan pada waktu shalat jika memang diizinkan/diperintahkan oleh waliyyul amr (pemerintah).

Jangan heran dengan pernyataanku “dalam qunut nazilah yang dilakukan dalam shalat jika memang diizinkan/diperintahkan oleh waliyyul amr.” Karena umat Islam telah melalui berbagai musibah yang dahsyat pada zaman shahabat Nabi, namun tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa para shahabat melakukan qunut nazilah selama mereka tidak diperintah oleh pimpinan (kaum muslimin).

Oleh karena itu aku katakan : Kita membantu saudara-saudara kita dengan do’a pada waktu-waktu sepertiga malam terakhir, kita bantu saudara-saudara kita dengan do’a dalam sujud, kita membantu saudara-saudara kita dengan do’a saat-saat kita berdzikir dan menghadap Allah agar Allah menolong kaum muslimin yang lemah.

…..

Semoga Allah membebaskan kaum muslimin dari cengkraman tangan-tangan zhalim, dan mengokohkan mereka (kaum muslimin) dengan ucapan (aqidah) yang haq, serta menolong mereka terhadap musuh kita, musuh mereka, musuh Allah, dan musuh kaum mukminin.

Ketiga dan Keempat, terkait dengan sikap kita terhadap peristiwa Ghaza :

Kita harus waspada terhadap orang-orang yang memancing di air keruh, menyeru dengan seruan-seruan yang penuh emosional atau seruan yang ditegakkan di atas perasaan (jauh dari bimbingan ilmu dan sikap ilmiah), yang justru membuat kita terjatuh pada masalah yang makin besar.

Kalian tahu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berada di Makkah, berada dalam periode Makkah, ketika itu beliau mengetahui bahwa orang-orang kafir terus menimpakan siksaan yang keras terhadap kaum muslimin. Sampai-sampai kaum muslimin ketika itu meminta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam agar menginzinkan mereka berperang. Ternyata Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam hanya mengizinkan sebagian mereka untuk berhijrah (meninggalkan tanah suci Makkah menuju ke negeri Habasyah), namun sebagian lainnya (tidak beliau izinkan) sehingga mereka terus minta izin dari Rasulullah untuk berperang dan berjihad.

Dari shahabat Khabbab bin Al-Arat Radhiyallahu ‘anhu :

شَكَوْنَا إِلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ مُتَوَسِّدٌ بُرْدَةً لَهُ فِي ظِلِّ الْكَعْبَةِ، قُلْنَا لَهُ : أَلاَ تَسْتَنْصِرُ لَنَا أَلا تَدْعُو اللهَ لَنَا؟ قَالَ: كَانَ الرَّجُلُ فِيمَنْ قَبْلَكُمْ يُحْفَرُ لَهُ فِي الأَرْضِ فَيُجْعَلُ فِيهِ فَيُجَاءُ بِالْمِنْشَارِ فَيُوضَعُ عَلَى رَأْسِهِ فَيُشَقُّ بِاثْنَتَيْنِ وَمَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ، وَيُمْشَطُ بِأَمْشَاطِ الْحَدِيدِ مَا دُونَ لَحْمِهِ مِنْ عَظْمٍ أَوْ عَصَبٍ وَمَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ، وَاللهِ لَيُتِمَّنَّ هَذَا الأَمْرَ حَتَّى يَسِيرَ الرَّاكِبُ مِنْ صَنْعَاءَ إِلَى حَضْرَمَوْتَ لاَ يَخَافُ إِلاَّ اللهَ أَوْ الذِّئْبَ عَلَى غَنَمِهِ وَلَكِنَّكُمْ تَسْتَعْجِلُونَ”

Kami mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ketika beliau sedang berbantalkan burdahnya di bawah Ka’bah –di mana saat itu kami telah mendapatkan siksaan dari kaum musyrikin–. Kami berkata kepada beliau : “Wahai Rasulullah, mintakanlah pertolongan (dari Allah) untuk kama? berdo’alah (wahai Rasulullah) kepada Allah untuk kami?”

Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam [2]) : “Bahwa dulu seseorang dari kalangan umat sebelum kalian, ada yang digalikan lubang untuknya kemudian ia dimasukkan ke lubang tersebut. Ada juga yang didatangkan padanya gergaji, kemudian gergaji tersebut diletakkan di atas kepalanya lalu ia digergaji sehingga badannya terbelah jadi dua, akan tetapi perlakuan itu tidaklah menyebabkan mereka berpaling dari agamanya. Ada juga yang disisir dengan sisir besi, sehingga berpisahlah tulang dan dagingnya, akan tetapi perlakuan itu pun tidaklah menyebabkan mereka berpaling dari agamanya. Demi Allah, Allah akan menyempurnakan urusan ini (Islam), hingga (akan ada) seorang pengendara yang berjalan menempuh perjalanan dari Shan’a ke Hadramaut, dia tidak takut kecuali hanya kepada Allah atau (dia hanya khawatir terhadap) srigala (yang akan menerkam) kambingnya. Akan tetapi kalian tergesa-gesa.

Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 3612, 3852, 6941).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam terus berada dalam kondisi ini dalam periode Makkah selama 13 tahun. Ketika beliau berada di Madinah, setelah berjalan selama 2 tahun turunlah ayat :

﴿أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ﴾ (الحج: 39 )

Telah diizinkan bagi orang-orang yang diperangi karena mereka telah dizhalimi. Sesungguhnya Allah untuk menolong mereka adalah sangat mampu.” [Al-Haj : 39]

Maka ini merupakan izin bagi mereka untuk berperang.


Kemudian setelah itu turun lagi ayat :

﴿وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ﴾ ( البقرة:190)

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, (tetapi) janganlah kalian melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” [Al-Baqarah : 190]

Kemudian setelah itu turun ayat :

﴿فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ إِنَّهُمْ لا أَيْمَانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنْتَهُونَ﴾ (التوبة: من الآية12)

Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti. [At-Taubah : 12]

﴿قَاتِلُوا الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ﴾ (التوبة: من الآية29)

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada Hari Akhir” [At-Taubah : 29]

Yakni bisa kita katakan, bahwa perintah langsung untuk berjihad turun setelah 16 atau 17 tahun berlalunya awal risalah. Jika masa dakwah Rasulullah adalah 23 tahun, berarti 17 tahun adalah perintah untuk bersabar. Maka kenapa kita sekarang terburu-buru??!

Kalau ada yang mengatakan : Ya Akhi, mereka (Yahudi) telah mengepung kita! Ya Akhi mereka (Yahudi) telah menzhalimi kita di Ghaza!!

Maka jawabannya : Bersabarlah, janganlah kalian terburu-buru dan janganlah kalian malah memperumit masalah. Janganlah kalian mengalihkan permasalahan dari kewajiban bersabar dan menahan diri kepada sikap perlawanan ditumpahkan padanya darah (kaum muslimin).

Wahai saudara-saudaraku, hingga pada jam berangkatnya aku untuk mengajar jumlah korban terbunuh sudah mencapai 537 orang, dan korban luka 2.500 orang. Apa ini?!!

Bagaimana kalian menganggap enteng perkara ini? Mana kesabaran kalian? Mana sikap menahan diri kalian? Sebagaimana jihad itu ibadah, maka sabar pun juga merupakan ibadah. Bahkan tentang sabar ini Allah berfirman :

﴿إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ﴾

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” [Az-Zumar : 10]

Jadi sabar merupakan ibadah. Kita beribadah kepada Allah dengan amalan kesabaran.

Kenapa kalian mengalihkan umat dari kondisi sabar menghadapi kepungan musuh kepada perlawanan dan penumpahan darah?

Kenapa kalian menjadikan warga yang aman, yang tidak memiliki keahlian berperang, baik terkait dengan urusan-urusan maupun prinsip-prinsip perang, kalian menjadikan mereka sasaran penyerbuan tersebut, sasaran serangan tersebut, dan sasaran pukulan tersebut, sementara kalian sendiri malah keluar menuju Beirut dan Libanon??! Kalian telah menimpakan bencana terhadap umat sementara kalian sendiri malah keluar (dari Palestina)??!

Oleh karena itu saya katakan : Janganlah seorang pun menggiring kita dengan perasaan atau emosi kepada membalik realita.

Kami mengatakan : bahwa wajib atas kita untuk bersabar dan menahan diri serta tidak tidak terburu-buru. Sabar adalah ibadah. Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabar dengan kesabaran yang panjang atas kezhaliman Quraisy dan atas kezhaliman orang-orang kafir. Kaum muslimin yang bersama beliau juga bersabar. Apabila dakwah Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam selama 23 tahun, sementara 17 tahun di antaranya Rasulullah bersabar (terhadap kekejaman/kebengisan kaum musyrikin) maka kenapa kita melupakan sisi kesabaran?? Dua atau tiga tahu mereka dikepung/diboikot! Kita bersabar dan jangan menimpakan kepada umat musibah, pembunuhan, kesusahan, dan kesulitan tersebut. Janganlah kita terburu beralih kepada aksi militer!!

Wahai saudaraku, takutlah kepada Allah! Apabila Rasulullah merasa iba kepada umatnya dalam masalah shalat, padahal itu merupakan rukun Islam yang kedua, beliau mengatakan (kepada Mu’adz) : “Apakah engkau hendak menjadi tukang fitnah wahai Mu’adz?!!” karena Mu’adz telah membaca surat terlalu panjang dalam shalat. Maka bagaimana menurutmu terhadap orang-orang yang hanya karena perasaan dan emosinya yang meluap menyeret umat kepada penumpahan darah dan aksi perlawanan yang mereka tidak memiliki kemampuan, bahkan walaupun sepersepuluh saja mereka tidak memiliki kemampuan untuk melakukan perlawanan. Bukankah tepat kalau kita katakan (pada mereka) : Apakah kalian hendak menimpakan musibah kepada umat dengan aksi perlawanan ini yang sebenarnya mereka sendiri tidak memiliki kemampuan untuk melakukan perlawanan tersebut!

Tidak ingatkah kita ketika kaum kuffar dari kalangan Quraisy dan Yahudi berupaya mencabik-cabik Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam dalam perang Ahzab, setelah adanya pengepungan (terhadap Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam dan para shahabatnya) yang berlangsung selama satu bulan, lalu sikap apa yang Rasulullah lakukan? Yaitu beliau Shallahu ‘alaihi wa Sallam mengutus kepada qabilah Ghathafan seraya berkata kepada mereka : “Saya akan memberikan kepada kalian separoh dari hasil perkebunan kurma di Madinah agar mereka (qabilah Ghathafan) tidak membantu orang-orang kafir dalam memerangi kami.”

Kemudian beliau mengutus kepada para pimpinan Anshar, maka mereka pun datang (kepada beliau). Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam menyampaikan kepada mereka bahwa beliau telah mengambil kebijakan begini dan begini, kemudian beliau berkata : “Kalian telah melihat apa yang telah menimpa umat berupa kegentingan dan kesulitan?”

Perhatikan, bukanlah keletihan dan kesulitan yang menimpa umat sebagai perkara yang enteng bagi beliau Shallahu ‘alaihi wa Sallam. Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam tidak rela memimpin mereka untuk melakukan perlawanan militer dalam keadaan mereka tidak memiliki daya dan kemampuan, sehingga dengan itu beliau Shallahu ‘alaihi wa Sallam menerima dari shahabat Salman Al-Farisi ide untuk membuat parit (dalam rangka menghalangi kekuatan/serangan musuh).

Demikianlah (cara perjuangan Rasulullah), padahal beliau adalah seorang Rasul Shallahu ‘alaihi wa Sallam dan bersama beliau para shahabatnya. Apakah kita lebih kuat imannya dibanding Rasulullah?! Apakah kita lebih kuat agamanya dibanding Rasulullah??! Apakah kita lebih besar kecintaannya terhadap Allah dan agama-Nya dibanding Rasulullah dan para shahabatnya??!

Tentu tidak wahai saudaraku.

Sekali lagi Rasulullah tidak memaksakan (kepada para shahabatnya) untuk melakukan perlawanan (terhadap orang kafir). Bukan perkara yang ringan bagi beliau ketika kesulitan yang menimpa umat sudah sedemikian parah. Sehingga terpaksa beliau mengutus kepada qabilah Ghathafan untuk memberikan kepada mereka separo dari hasil perkebunan kurma Madinah (agar mereka tidak membantu kaum kafir menyerang Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam dan para shahabatnya). Namun Allah kuatkan hati dua pimpinan Anshar, keduanya berkata : ‘Wahai Rasulullah, mereka tidak memakan kurma tersebut dari kami pada masa Jahiliyyah, maka apakah mereka akan memakannya dari kami pada masa Islam? Tidak wahai Rasulullah. Kami akan tetap bersabar.’

Mereka (Anshar) tidak mengatakan : Kami akan tetap berperang. Namun mereka berkata : Kami akan bersabar. Maka tatkala mereka benar-benar bersabar, setia mengikuti Rasulullah, dan ridha, datanglah kepada mereka pertolongan dari arah yang tidak mereka sangka. Datanglah pertolongan dari sisi Allah, datanglah hujan dan angin, dan seterusnya. Bacalah peristiwa ini dalam kitab-kitab sirah, pada (pembahasan) tentang peristiwa perang Ahzab.

Maka, permasalahan yang aku ingatkan adalah : Janganlah ada seorangpun yang menyeret kalian hanya dengan perasaan dan emosinya, maka dia akan membalik realita yang sebenarnya kepada kalian.

Aku mendengar sebagai orang mengatakan, bahwa “Penyelesaian permasalahan yang terjadi adalah dengan jihad, dan seruan untuk berjihad!”

Tentu saya tidak mengingkari jihad, namun apabila yang dimaksud adalah jihad yang syar’i

Sementara jihad yang syar’i memilliki syarat-syarat, dan syarat-syarat tersebut belum terpenuhi pada kita sekarang ini. Kita belum memenuhi syarat-syarat terlaksananya jihad syar’i pada hari ini. Sekarang kita tidak memiliki kemampuan untuk melakukan perlawanan. Allah tidak membebani seseorang kecuali sebatas kemampuannya.

Apabila Sayyiduna ‘Isa u pada akhir zaman nanti akan berhukum dengan syari’at Muhammad Shallahu ‘alaihi wa Sallam, ‘Isa adalah seorang nabi dan bersamanya kaum mukminin, namun Allah mewahyukan kepadanya : ‘Naiklah bersama hamba-hamba-Ku ke Jabal Ath-Thur karena sesungguhnya Aku akan mengeluarkan suatu kaum yang kalian tidak mampu melawannya.’ Siapakah kaum tersebut? Mereka adalah Ya`juj dan Ma`juj.

Perampasan yang dilakukan oleh Ya’juj dan Ma’juj -mereka termasuk keturunan Adam (yakni manusia)- terhadap kawasan Syam dan sekitarnya seperti perampasan yang dilakukan oleh orang-orang kafir dan ahlul batil terhadap salah satu kawasan dari kawasan-kawasan (negeri-negeri) Islam. Maka jihad melawan mereka adalah termasuk jihad difa’ (defensif : membela diri). Meskipun demikian ternyata Allah Subhanahu wa Ta’ala mewahyukan kepada ‘Isa ‘alaihissalam - beliau ketika itu berhukum dengan syari’at Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wa Sallam - : “Naiklah bersama hamba-hamba-Ku ke Jabal Ath-Thur. Karena sesungguhnya Aku akan mengeluarkan suatu kaum yang kalian tidak akan mampu melawannya.’

Allah tidak mengatakan kepada mereka : “Berangkatlah melakukan perlawanan terhadap mereka.” Allah tidak mengatakan kepada : “Bagaimana kalian membiarkan mereka mengusai negeri dan umat?” Tidak. Tapi Allah mengatakan : “Naiklah bersama hamba-hamba-Ku ke Jabal Ath-Thur. Karena sesungguhnya Aku akan mengeluarkan suatu kaum yang kalian tidak akan mampu melawannya.” Inilah hukum Allah.

Jadi, meskipun jihad difa’ tetap kita harus melihat pada kemampuan. Kalau seandainya masalahnya adalah harus melawan dalam situasi dan kondisi apapun, maka apa gunanya Islam mensyari’atkan bolehnya perdamaian dan gencatan senjata antara kita dengan orang-orang kafir? Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman :

وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا [الأنفال/61]

“Jika mereka (orang-orang kafir) condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya (terimalah ajakan perdamaian tersebut).” [Al-Anfal : 61]

Apa makna itu semua?

Oleh karena itu Samahatusy Syaikh Bin Baz Rahimahullah menfatwakan bolehnya berdamai dengan Yahudi, meskipun mereka telah merampas sebagian tanah Palestina, dalam rangka menjaga darah kaum muslimin, menjaga jiwa mereka, dengan tetap diiringi mempersiapkan diri sebagai kewajiban menyiapkan kekuatan untuk berjihad. Persiapan kekuatan untuk berjihad dimulai pertama kali dengan persiapan maknawi imani (yakni mempersiapkan kekuatan iman), baru kemudian persiapan materi.

Maka kami tegaskan bahwa :

Kewajiban kita terhadap tragedi besar yang menimpa kaum muslimin (di Palestina) dan negeri-negeri lainnya:

- Bahwa kita membantu mereka dengan do’a untuk mereka, dengan cara yang telah aku jelaskan di atas.

- Kita menjadikan masalah darah kaum muslimin sebagai perkara besar, kita tidak boleh mengentengkan perkara ini. Kita menyadari bahwa ini merupakan perkara besar yang tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya serta kaum muslimin.

- Kita waspada agar jangan sampai ada seorangpun yang menyeret kita hanya dengan perasaan dan emosi kepada perkara-perkara yang bertentangan dengan syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala.

- Kita mendekatkan diri dan beribadah kepada Allah dengan cara mengingatkan diri kita dan saudara-saudara kita tentang masalah sabar. Allah telah berfirman : “Bersabarlah sebagaimana kesabaran para ulul ‘azmi dari kalangan para rasul.” [Al-Ahqaf : 35] Karena sesungguhnya sikap sabar merupakan sebuah siasat yang bijaksana dan terpuji dalam situasi dan kondisi seperti sekarang. Sabar merupakan obat. Dengan kesabaran dan ketenangan serta tidak terburu-buru insya Allah problem akan terselesaikan. Kita memohon kepada Allah pertolongan dan taufiq. Adapun mengajak umat pada perkara-perkara yang berbahaya maka ini bertentangan dengan syari’at Allah dan bertentangan dengan agama Allah.




Kelima :

Memberikan bantuan materi yang disalurkan melalui lembaga-lembaga resmi, yaitu melalui jalur pemerintah. Selama pemerintah membuka pintu (penyaluran) bantuan materi dan sumbangan maka pemerintah lebih berhak didengar dan ditaati. Setiap orang yang mampu untuk menyumbang maka hendaknya dia menyumbang. Barangsiapa yang lapang jiwanya untuk membantu maka hendaknya dia membantu. Namun janganlah menyalurkan harta dan bantuan tersebut kecuali melalui jalur resmi sehingga lebih terjamin insya Allah akan sampai ke sasarannya. Jangan tertipu dengan nama besar apapun, jika itu bukan jalur yang resmi yang bisa dipertanggungjawabkan. Janganlah memberikan bantuan dan sumbanganmu kecuali pada jalur resmi.

Inilah secara ringkas kewajiban kita terhadap tragedi yang menimpa saudara-saudara di Ghaza. Saya memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menolong dan mengokohkan mereka serta memenangkan mereka atas musuh-musuh kita dan musuh-musuh mereka (saudara-saudara kita yang di Palestina), serta menghilangkan dari mereka (malapetaka tersebut). Kita memohon agar Dia menunjukkan keajaiban-keajaiban Qudrah-Nya atas para penjajah, para penindas, dan para perampas yang zhalim dan penganiaya tersebut.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين

[1] Semula Asy-Syaikh Al-Albani mendha’ifkan hadits ini, sehingga beliau pun meletakkannya dalam Dha’if Sunan Ibni Majah dan Dha’if Al-Jami’. Namun kemudian beliau rujuk dari pendapat tersebut. Beliau menshahihkan hadits tersebut dan memasukkannya dalam Ash-Shahihah no. 3420. beliau rahimahullah mengatakan :

هذا؛ وقد كنت ضعفت حديث ابن ماجه هذا في بعض تخريجاتي وتعليقاتي قبل أن يطبع (( شعب الإيمان ))، فلما وقفت على إسناده فيه، وتبينت حسنه، بادرت إلى تخريجه هنا تبرئة للذمة، ونصحا للأمة داعيا ( ربنا لا تؤاخذنا إن نسينا أو أخطأنا )، وبناء عليه؛ ينقل الحديث من ( ضعيف الجامع الصغير ) و ( ضعيف سنن ابن ماجه ) إلى ( صحيحيهما ).

[2] Dalam riwayat Al-Bukhari lainnya dengan lafazh disebutkan bahwa : Maka beliau langsung duduk dengan wajah memerah seraya bersabda : …

Sumber: http://www.assalafy.org/mahad/?p=299#more-299
via: http://ashthy.wordpress.com/2009/01/23/sikap-dan-kewajiban-umat-islam-terhadap-tragedi-palestina/