09 Februari 2008

Sikap Muslim Terhadap Hari Kasih Sayang - Valentine’s Day



Asy Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin

Pertanyaan:

Bagaimana hukum merayakan hari Kasih Sayang / Valentine’s Day ?

Jawaban:
Syaikh Muhammad Sholih Al-Utsaimin menjawab :
“Merayakan hari Valentine itu tidak boleh, karena:

Pertama: ia merupakan hari raya bid‘ah yang tidak ada dasar hukumnya di dalam syari‘at Islam.

Kedua: ia dapat menyebabkan hati sibuk dengan perkara-perkara rendahan seperti ini yang sangat bertentangan dengan petunjuk para salaf shalih (pendahulu kita) – semoga Allah meridhai mereka. Maka tidak halal melakukan ritual hari raya, baik dalam bentuk makan-makan, minum-minum, berpakaian, saling tukar hadiah ataupun lainnya. Hendaknya setiap muslim merasa bangga dengan agamanya, tidak menjadi orang yang tidak mempunyai pegangan dan ikut-ikutan. Semoga Allah melindungi kaum muslimin dari segala fitnah (ujian hidup), yang tampak ataupun yang tersembunyi dan semoga meliputi kita semua dengan bimbingan-Nya.”

Maka adalah wajib bagi setiap orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat untuk melaksanakan wala’ dan bara’ ( loyalitas kepada muslimin dan berlepas diri dari golongan kafir) yang merupakan dasar akidah yang dipegang oleh para salaf shalih. Yaitu mencintai orang-orang mu’min dan membenci dan menyelisihi (membedakan diri dengan) orang-orang kafir dalam ibadah dan perilaku.

Di antara dampak buruk menyerupai mereka adalah: ikut mempopulerkan ritual-ritual mereka sehingga terhapuslah nilai-nilai Islam. Dampak buruk lainnya, bahwa dengan mengikuti mereka berarti memperbanyak jumlah mereka, mendukung dan mengikuti agama mereka, padahal seorang muslim dalam setiap raka’at shalatnya membaca,

“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (Al-Fatihah:6-7)

Bagaimana bisa ia memohon kepada Allah agar ditunjukkan kepadanya jalan orang-orang yang mukmin dan dijauhkan darinya jalan golongan mereka yang sesat dan dimurkai, namun ia sendiri malah menempuh jalan sesat itu dengan sukarela. Lain dari itu, mengekornya kaum muslimin terhadap gaya hidup mereka akan membuat mereka senang serta dapat melahirkan kecintaan dan keterikatan hati.

Allah Subhannahu wa Ta’ala telah berfirman, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah:51)

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” (Al-Mujadilah: 22)

Ada seorang gadis mengatakan, bahwa ia tidak mengikuti keyakinan mereka, hanya saja hari Valentine tersebut secara khusus memberikan makna cinta dan suka citanya kepada orang-orang yang memperingatinya.

Saudaraku! Ini adalah suatu kelalaian, padahal sekali lagi: Perayaan ini adalah acara ritual agama lain! Hadiah yang diberikan sebagai ungkapan cinta adalah sesuatu yang baik, namun bila dikaitkan dengan pesta-pesta ritual agama lain dan tradisi-tradisi Barat, akan mengakibatkan seseorang terobsesi oleh budaya dan gaya hidup mereka.

Mengadakan pesta pada hari tersebut bukanlah sesuatu yang sepele, tapi lebih mencerminkan pengadopsian nilai-nilai Barat yang tidak memandang batasan normatif dalam pergaulan antara pria dan wanita sehingga saat ini kita lihat struktur sosial mereka menjadi porak-poranda.

Alhamdulillah, kita mempunyai pengganti yang jauh lebih baik dari itu semua, sehingga kita tidak perlu meniru dan menyerupai mereka. Di antaranya, bahwa dalam pandangan kita, seorang ibu mempunyai kedudukan yang agung, kita bisa mempersembahkan ketulusan dan cinta itu kepadanya dari waktu ke waktu, demikian pula untuk ayah, saudara, suami …dst, tapi hal itu tidak kita lakukan khusus pada saat yang dirayakan oleh orang-orang kafir.

Semoga Allah Subhannahu wa Ta’ala senantiasa menjadikan hidup kita penuh dengan kecintaan dan kasih sayang yang tulus, yang menjadi jembatan untuk masuk ke dalam Surga yang hamparannya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.

Menyampaikan Kebenaran adalah kewajiban setiap Muslim. Kesempatan kita saat ini untuk berdakwah adalah dengan menyampaikan buletin ini kepada saudara-saudara kita yang belum mengetahuinya.

Semoga Allah Ta’ala Membalas ‘Amal Ibadah Kita.

Judul Asli: Hari Kasih atau Valentine dalam Tinjauan Syariat
Sumber: www.darussalaf.org

Larangan serta kesalahan didalam Shalat



Tentang materi ini silahkan klik disini

Larangan serta kesalahan didalam Berwudhu (2)



1. Berwudhu’ lagi takala pakaian atau badannya terkena najis, hendaknya cukup dengan mencuci bagian yang terkena najis/ kencing (Fatwa Al lajnah ad Da’imah, 5/265)
2. Menyentuh kemaluan anak anak tidak berwudhu’ lagi. Fatwa Al lajnah ad Da’imah: Menyentuh aurat tanpa pelapis adalah membatalkan wudhu’, baik yang disentuh orang besar maupun anak kecil,yang berdasarkan pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam.” Barangsiapa menyentuh kemaluannya, maka hendakla berwudhu’ Kemaluan orang lain yang disentuh sama dengan kemaluannya sendiri (Fatwa Al lajnah ad Da’imah, 5/265).
3. Menyentuh kemaluan setelah mandi dan sebelum mengenakan pakaian. Sabda Rasulullah Shallallau alaihi wassalam, “Barangsiapa menyentuh kemaluannya,maka hendaklah wudhu’ (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, at Tirmidzi, An Nasa’I dan Ibnu Majah).
4. Orang berkeyakinan bahwa darah dapat membatalkan wudhu’ (selain darah keluar dari kemaluan).
5. Orang berkeyakinan tidur tidak membatalkan wudhu’, hendaknya bila orang tertidur berwudhu’, adapun mengantuk tidak membatalkan wudhu’ karena perasaan dan kesadarannya tidak hilang (fatawa Syaikh Abdul Aziz bin Baz,I/38).
6. Orang berkeyakinan bersetubuh tidak mengeluarkan mani tidak wajib mandi, hendaknya setelah bersetubuh baik mengeluarkan mani atau tidak wajib mandi.
7. Tidak bersiwak ketika hendak wudhu’,sunnahnya bersiwak ketika hendak wudhu’.
8. Laki laki menyentuh wanita membatalkan wudhu’. Syaikh shalih Utsaimin berkata,” Menurut pendapat yang lebih kuat menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu’ secara mutlak.. (fatawa syaikh Shalih Utsaimin,4/202)
9. Tidak mengulangi wudhu’ setelah makan dagin onta hendaknya ia mengulangi wudhu’nya.
10. Orang berkeyakinan bahwa wudhu’ menjadi batal karena memotong kuku atau mencukur rambut. Fatwa Al lajnah ad Da’imah : jika seorang sudah berwudhu’,lalu ia membasuh sebagian anggota wudhu’nya dengan sabun, atau mencukur rambut atau memotong kuku maka wudhu’nya tidak batal ( Fatwa Al lajnah ad Da’imah no.5/284)
11. Tayammun padahal ada air disekitarnya hendaknya ia berwudhu’ dengan air.
12. Orang berkeyakinan Tayyamum untuk sekali shalat.
13. Mengusap kedua tangan sampai siku ketika bertayyamum.
14. Menyentuh Mushhaf dengan tidak berwudhu’.
15. Tidak menghilangkan cat atau minyak di anggota-anggota wudhu’ sehingga air tidak bias membasahi kulit.
16. Memakai kutek (cat kuku) tanpa membersihkannya sebelum wudhu’.
17. Sudah wudhu’ kemudian wudhu’ lagi tanpa diselangi shalat.
18. Orang berkeyakinan tentang tidak boleh mendirikan dua shalat fardhu dengan satu wudhu’.
19. Wudhu’ dan mandi menggunakan bejana dari emas atau perak.
20. Orang berkeyakinan berendam di air sudah termasuk wudhu’.
21. Tidak menghindari percikan air kencing atau membersihkan percikan air kencing pada saat akan berwudhu’.
22. Mengulangi wudhu’ atau was was dalam berwudhu’.

Sabda Rasulullah shallalllahu alaihi wassalam, ”Barangsiapa berwudhu’ dan membaguskan wudhu’nya, maka dosa dosanya keluar dari badannya kemudian keluar dari bawah kuku-kukunya.” (Hadits Riwayat Bukhary dan Muslim)

Disalin dan diringkas kembali dari buku Mukhalafah fith thaharah Penerbit Dar Islamiyah, 1414 H
http://abfaza.wordpress.com/2008/02/02/larangan-serta-kesalahan-didalam-berwudhu-2

Larangan serta kesalahan didalam Berwudhu’ (1)



WUDHU’ ternyata masih saja dianggap sebagian orang perkara yang remeh, padahal wudhu’ merupakan kunci diterimanya ibadah shalat maupun ibadah lainnya oleh karena itu wajib bagi kita untuk menyempurnakan wudhu’. Banyak larangan serta kesalahan dan penyimpangan didalam berwudhu’ seperti :
1. Melafazhkan niat saat akan berwudhu’, seperti : Nawwaitu wudhui (aku berniat wudhu’…). Bahwa niat tempatnya dihati tidakperlu dilafazhkan.
2. Berdo’a atau berdzikir takala membasuh anggota wudhu’, para anggota Al lajnah ad Da’imah mengatakan, tidak pernah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam satu do’apun takala berwudhu’. Doa yang biasa dibaca orang orang awam takala membasuh anggota wudhu’ adalah bid’ah, (fatawa al Lajnah ad Da’imah, 5/206).
3. Tidak membaca “Basmalah” takala memulai wudhu’, Al lajnah ad Da’imah menetapkan kewajiban membaca basmalah takala memulai wudhu’.
4. Mencelupkan telapak tangan ke dalam bejana setelah bangun tidur. Hendaknya kedua tangan dibasuh (cuci) terlebih dahulu sebelumnya.
5. Orang berkeyakinan membasuh kemaluan setiap hendak wudhu’ sekalipun tidak ada hadats,ini merupakan tindakan yang belebihan.
6. Tidak Istinsraq atau tidak menghirup air kehidung dan berkumur pada saat wudhu’, Al lajnah ad Da’imah mengatakan barangsiapa tidak memasukan air kelubang hidungnya maka wudhu’nya tidak sah,oleh karena itu dia harus mengulang lagi wudhu’nya dan shalatnya. (fatawa Al lajnah ad Da’imah, 5/209). Sedangkan Syaikh Utsaimin mengatakan, jika seseorang mandi janabah dan tidak berkumur serta menghirup air dari lubang hidungnya maka mandinya tidak sah ( majmu’ fatawa wa rasa’il fadhilatusy syaikh Muhammad bin Utsaimin, 4/229).
7. Tidak menyempurnakan wudhu’, seperti tumit tidak terkena air, kuku tidak terkena air, maka Rasulullah bersabda “ulangi lagi dan baguskan wudhu’mu”. (Hadits Riwayat Abu Daud).
8. Berlebih lebihan dalam mengunakan air.
9. Orang berkeyakinan bahwa wudhu’ tidak sempurna kecuali dengan tiga kali basuhan.
10. Membasuh anggota wudhu’ lebih dari 3 (tiga) kali basuhan.
11. Tidak membasuh sela sela jari tangan atau sela sela jari kaki saat berwudhu’.
12. Tidak membasuh semua permukaan muka dan meratakannya disaat berwudhu’.
13. Tidak membasuh jenggot yang lebat.
14. Hanya mengusap rambut kepala bagian depan saja, hendaknya mengusap rambut kepala keseluruhan dengan sekali usap sambil membasuh telinga.
15. Mengambil air yang baru untuk membasuh kedua telinga, hendaknya membasuh kedua telinga bersama kepala
16. Mengusap rambut kepala tiga kali, hendaknya mengusap rambut kepala keseluruhan dengan sekali usap sambil membasuh telinga.
17. Membasuh lutut pada saat ber wudhu’.
18. Tidak berwudhu’ sebelum mandi janabah, hendaknya sebelum mandi berwudhu terlebih dahulu.
19. Tidak membasuh bagian badan tertentu takala mandi, seperti tidak melepas cincin, arloji sehingga tidak terkena air.
20. Mengenakan wewangian (parfum) beralkohol setelah berwudhu’, hendaknya memakai parfum tanpa alkohol.

Sabda Rasulullah shallalllahu alaihi wassalam, ”Barangsiapa berwudhu’ dan membaguskan wudhu’nya, maka dosa dosanya keluar dari badannya kemudian keluar dari bawah kuku-kukunya.” (Hadits Riwayat Bukhary dan Muslim)

Disalin dan diringkas kembali dari buku Mukhalafah fith thaharah Penerbit Dar Islamiyah, 1414 H

BERSAMBUNG….




http://abfaza.wordpress.com/2008/02/02/larangan-serta-kesalahan-didalam-berwudhu’-1/

05 Februari 2008

Points from "The Detailed Religion" :::: clarification

There is something that should be made clear from what our Shaykh said in his talk that was translated and titled "The Detailed Religion". The Shaykh said:

>> There called me, before 2 or 3 weeks, a youth studying in the Islaamic University (in al-Madeenah). So I was advising him with adherence (to the religion), to read, and taking the maadah as-Sunniyyah (subject matter derived from the Sunnah). He says, ‘Aboo ‘Uthmaan –he sent me a message–, he says “I have just left a lecture, the educator, the teacher, has read and attained (the various) arts (funoon)”. Whose son (is he referring to)? He is the son of an Imaam, the author of “Adwaa’ul-Bayaan”, Muhammad al-Ameen ash-Shanqeetee.’, his name is ‘Abdullaah. What does he say? He says, to the students in the Islaamic University (of al-Madeenah) – look, where are you, O Shaykh ‘Abdul-‘Azeez?! Allaahu Akbar! – He (this ‘Abdullaah) says: “And what do you know? Maybe Ja'd [bin Dirham] has placed his luggage in Jannah”. <<>> He (this ‘Abdullaah) says: “And what do you know? Maybe Ja'd [bin Dirham] has placed his luggage in Jannah”. <<>> So beware, O ‘Abdullaah, of the mujmalaat (the generalities)! The mujmalaat -– our da’wah is the da’watus-Salafiyyah. From the mujmalaat is seeking knowledge (talabul-‘Ilm), a general statement. From the mujmalaat is giving importance to the books of Shaykhul-Islaam Ibn Taymiyyah. From the mujmalaat (generalities) is (saying) “I am a graduate of the the Islaamic University (of al-Madeenah)”. From the mujmalaat is “Obedience to the Walee al-Amr is obligatory”. From the mujmalaat is warning against the takfeerees.


Mujmalaat (generalities)!" <<>> Look at these Aathaar (narrations of the Salaf), look at these Aathaar and you will find the distinction:

Aboo Ishaaq would not teach, or would not narrate hadeeth to a student, until he tested him. He would say: ‘Say that Zinaa is by the Qadr of Allaah.’ And if not, he would not narrate (to him). ‘Say that Zinaa is by the Qadr of Allaah.’ And if not, he would not narrate (to him). ‘Say that Zinaa …’ this is an Imaam! So if the student said that, he would narrate to him. Do you see, O brothers? So then there is what? Indeed the Prophet (صلى الله عليه و سلم) came to us with what? With al-Mufassal (detail)! Leave the general. Enter into? The tafseel (detail)! And here is the Faariq. And here the truth becomes clear to you. For that reason the Prophet (صلى الله عليه و سلم) came with what?

Al-Mufassal! <<

So this is what we wanted to mention to help make what our Shaykh, Shaykh al-'Anjaree (حفظه الله) mentioned clear for the brothers and sisters, and hopefully make apparent the importance of this affair. And the Tawfeeq is from Allaah.
http://salafiyyah-kuwait.blogspot.com/

02 Februari 2008

Sabar...diatas Ilmu


Inilah sedikit catatan dari Kajian rutin tiap Sabtu malam Ahad di Masjid Al Haaj Abdullah Ahmad Al Jasmi Az Zahra Area South Surrah Kuwait bersama syeikh Falah Ismail Al Mindikar hafidzahulloh yang membahas Kitab Fathul Majid.

Hendaklah kita semua sabar diatas ilmu, amal dan da'wah. Jika tidak sabar diatas ilmu, maka tidak akan bisa sabar dalam beramal dan berda'wah. Da'wah, haruslah di atas BASHIRAH dalah hal apa yang dida'wahkan, dengan cara yang lembut dan terkadang harus dengan cara yang keras/tegas. Seorang da'i juga harus tahu haknya ilmu, barangsiapa berda'wah dengan ilmu dan cara yang tidak diajarkan Nabi shalallohu 'alaihi wa sallam, maka sesungguhnya dia berada di jurang kehancuran. Maka dalam berda'wah HARUS dengan jalan yang beliau ajarkan. "Ketahuilah!!! Barang siapa yang menyelisihi jalan Nabi maka sesungguhnya dia berada di jalan yang ditempuh kaum musyrikin baik langsung ataupun tidak langsung, disadari ataupun tidak, akhirnya akan berujung kepada kesyirikan." Hal ini bisa jadi karena dia tahu atau pun tidak seseorang terjerumus kedalam kesyirikan. Orang-orang -terutama dai- yang menyelisihi Nabi maka dia sesat dan menyesatkan, atau berda'wah karena mengajarkan faham syeikh tertentu (yang menyelisihi ajaran Nabi), maka ini termasuk jalan kesyirikan karena tidak lagi lillahi ta'ala, baik itu berda'wah kepada syeikh, imam, jama'ah, kelompok, partai ataupun madzhab, maka tidak ragu lagi bahwa da'wahnya bukan karena Alloh, walaupun dengan menamakannya sebagai usaha penegakan kekuasaan Islam. Ada juga sekelompok orang yang mengikuti madzhab tertentu tapi dengan taklid buta(tanpa ilmu=mengekor saja), jika ada orang yang keluar dari madzhab itu  maka akan dicap sebagai orang fasik, munafik,dll maka ini menandingi dalam hal mutaba'ah kepada ajaran Nabi, hal ini merupakan bentuk kesyirikan juga.

The Detailed Religion (ad-Deen al-Mufassal) :::: Shaykh al-'Anjaree

The Detailed Religion


Ash-Shaykh Aboo ‘Uthmaan Muhammad al-‘Anjaree


Transcribed & translated from a taped lecture given on 29 November, 2007

in the Kuwaiti desert area of Kabd

by

Aboo Sufyaan ‘Uthmaan Beecher, edited by Firaas Al-Ragom





Shaykh al-‘Anjaree (حفظه الله تعالى) said:


“I wish, here, to mention an important issue.

A man called me, so he said, ‘I want to read to you an article that was published yesterday where it speaks about obedience to the Walee al-Amr (the Muslim ruler).’ He is the one who wrote the article. So after the end (of the article), he asked, ‘What is your opinion of the article, Aboo ‘Uthmaan?’ And he is ikhwaanee, from the sons of Jam’iyyatul-Islaah al-Ijtimaa’iyyah, as though he was trying to say ‘we [ikhwaanul-Muslimeen] speak about obedience to the Walee al-Amr.’


So I said to him: The Prophet (صلى الله عليه و سلم) came with al-Mufassal (that which is detailed and specific). When the Prophet (صلى الله عليه و سلم) came, (he came) with al-Mufassal. And this is a faariq (that which distinguishes and differentiates) between the da’watul-Haqq (the da’wah of the Truth) and all of the other da’waat.

So beware, O ‘Abdullaah, of the mujmalaat (the generalities)! The mujmalaat – our da’wah is the da’watus-Salafiyyah. From the mujmalaat is seeking knowledge (talabul-‘Ilm), a general statement. From the mujmalaat is giving importance to the books of Shaykhul-Islaam Ibn Taymiyyah. From the mujmalaat is (saying) “I am a graduate of the the Islaamic University (of al-Madeenah)”. From the mujmalaat is “Obedience to the Walee al-Amr is obligatory”. From the mujmalaat is warning against the takfeerees.

Mujmalaat! [1]

And today we hear this, isn’t that so?!

‘Abdur-Rahmaan (‘Abdul-Khaaliq) says: ‘I say: it is upon you to seek knowledge!’
Safar (al-Hawalee) says: ‘I call (the people) to seek knowledge.’ Salmaan al-‘Awdah says: ‘It is upon you to seek knowledge and to read the books of Shaykhul-Islaam Ibn Taymiyyah.’ Then the subject matter is one!

Then how are you, O ‘Abdullaah, to differentiate?! Here is the problem!

The miskeen one, this student of knowledge, 18 years old, 19 years old, (says) ‘O akhee, this is confusing and problematic for me! This one says “seeking knowledge” (talabul-‘Ilm), and ‘Abdur-Rahmaan (‘Abdul-Khaaliq) says “seeking knowledge”, and Salmaan says “seeking knowledge”!’

The other says: “No, I read upon the Mashayikh (the Scholars)!” Salmaan says: ‘I read more than you upon the Mashayikh, jazaakallaah khayr!’

Is that not so?!

(He says:) “I am a Najdee (from Najd), and Shaykh ‘Abdul-‘Azeez bin Baaz and Shaykh Ibn ‘Uthaymeen are from Najd, I have been raised (in knowledge) with these people”.

So how do you, O student of knowledge, distinguish and separate?

The Qur’aan distinguishes and separates. The Prophet, from his names is “Faariq” (the one who distinguishes and separates between Truth and Falsehood). The Battle of Badr, what is it? What?

[the brothers answering the Shaykh]

Furqaan! [2] So then how do you differentiate? I will mention to you a statement here.

There called me, before 2 or 3 weeks, a youth studying in the Islaamic University (in al-Madeenah). So I was advising him with adherence (to the religion), to read, and taking the maadah as-Sunniyyah (subject matter derived from the Sunnah). He says, ‘Aboo ‘Uthmaan –he sent me a message–, he says “I have just left a lecture, the educator, the teacher, has read and attained (the various) arts (funoon) [3]”. Whose son (is he referring to)? He is the son of an Imaam, the author of “Adwaa’ul-Bayaan”, Muhammad al-Ameen ash-Shanqeetee.’, his name is ‘Abdullaah. What does he say? He says, to the students in the Islaamic University (of al-Madeenah) – look, where are you, O Shaykh ‘Abdul-‘Azeez?! Allaahu Akbar! – He (this ‘Abdullaah) says: “And what do you know? Maybe Ja'd [4] has placed his luggage in Jannah”.

[The Shaykh makes disapproving sounds]

“What do you know?” So he says: “I have attained the arts (funoon), I studied with the Mashayikh, and I completed my studies in the Islaamic University and now I teach in it. And my Mashayikh … well I am in no need of an introduction, you want to ask about my Mashayikh?! I’ll narrate to you the chain now. The supplemental sciences (the sciences of the language, Usoolul-Fiqh, etc.), and for Allaah is all praise, I teach. If you bring me a single word, I will bring ten proofs from the Qur’aan. I challenge you!”

Then what do you do now?

Look at these Aathaar (narrations of the Salaf), look at these Aathaar and you will find the distinction:

Aboo Ishaaq would not teach, or would not narrate hadeeth to a student, until he tested him. He would say: ‘Say that Zinaa is by the Qadr of Allaah.’ And if not, he would not narrate (to him). ‘Say that Zinaa is by the Qadr of Allaah.’ And if not, he would narrate (to him). ‘Say that Zinaa …’ this is an Imaam! So if the student said that, he would narrate to him. Do you see, O brothers?

So then there is what? Indeed the Prophet (صلى الله عليه و سلم) came to us with what? With al-Mufassal (detail)!

Leave the general. Enter into? The tafseel (detail)! And here is the Faariq. And here the truth becomes clear to you. For that reason the Prophet (صلى الله عليه و سلم) came with what? Al-Mufassal!

I will mention to you – this is the guidance of the Prophet (صلى الله عليه و سلم) – a woman came, or, we will mention another hadeeth. A man wanted to free a slave, and he is the sahaabee Mu’aawiyyah (رضى الله عنه و أرضاه) . So the Prophet (صلى الله عليه و سلم) said (( Bring her to me )). So she came, and the Prophet (صلى الله عليه و سلم) asked her:

(( Where is Allaah? )) Detailed or not?

[brothers answer: detailed].

Do you notice the Prophetic methodology?! (( Where is Allaah? )) So she said: “Above the Heavens.” This is the Prophetic methodology! This, this is the prophetic methodology! There must be tafseel (detail)!

A person comes to me and I say ‘Come, the question (from me to you) is clear. What is your position towards Jam’iyyah Ihyaa’ at-Turaath? What is your position towards Jam’iyyah Ihyaa’ at-Turaath?!’ If he says to you, ‘O akhee, what kind of questions are these?’ Know that there is something inside him! You see?

Here – (and) of course there are people who have eaten barseem (been affected by wealth and sustenance), just as one of the Salaf said – the Kullaabiyyah in that time had position and status - so that Imaam would not narrate hadeeth to the children until he tested them. So he would say: ‘Say: “O Allaah! I free myself (before you) from the Kullaabiyyah.”’ He would not narrate hadeeth to the student until he would say that phrase. ‘O Allaah! I free myself before you from the Kullaabiyyah.’ So a student said: ‘O Shaykh! My father won’t give me sustenance (‘aysh)’ – meaning barseem. So the teacher laughed. The Shaykh laughed.


This path is not easy. In this path is ghurbah (Strangeness), the Prophet -صلى الله عليه و سلم - says. And for this the Prophet (صلى الله عليه و سلم) described these people with his statement – look!

(( Those who rectify what the people have corrupted )) – from what? From my Sunnah al-Mufassilah (my detailed Sunnah)! ((Those who rectify what the people have corrupted from my Sunnah )).


This, this is the risaalah (message). This, this is the risaalah – that we rectify what the turaathee has corrupted from the Sunnah of the Prophet (صلى الله عليه و سلم),that we rectify what the ikhwaanee has corrupted from the Sunnah of the Prophet (صلى الله عليه و سلم), that we rectify what the juhaymaanee has corrupted from the Sunnah of the Prophet (صلى الله عليه و سلم), that we rectify what Salmaan al-‘Awdah has corrupted from the Sunnah of the Prophet (صلى الله عليه و سلم). This is the manhaj al-Mufassal (the detailed methodology) in this time.


And I say this (what I have said), and I ask forgiveness from Allaah for myself and you.”


[1] Meaning: all of these are generalities and are not proofs for a person being upon the Truth. Rather it is the details that show what a person is upon, as the Shaykh clarifies in what follows. [TN]

[2] The distinction between Truth and falsehood. Allaah said: “If you have believed in Allaah and in that which We sent down to Our slave (Muhammad) on the Day of Furqaan, the Day when the two forces met…” [8:41] al-Imaam Ibn Jareer at-Tabaree said: “Ibn ‘Abbaas said about His saying (in this aayah), “the Day of Furqaan”: ‘He means by Furqaan, the Day of Badr. In it Allaah differentiated and separated between Truth and falsehood.” See the Shaykh’s article “The Light of Furqaan” for more on this issue. [TN]

[3] Meaning the various sciences of the Sharee’ah [TN]

[4] Ja'd bin Dirhaam. And here the Shaykh means that when you speak about ahlul-bid'ah, some will come and say 'but you don't know! Maybe Allaah has forgiven him. Maybe Allaah will enter him into Jannah' and the like of this, to cause the Atharee to doubt the Haqq. [TN]


Peperangan dan Terorisme = ندوة " الغزو الإرهابي "محمد العنجري

Video Youtube Syeikh Muhammad Al 'Anjari hafidzahulloh dalam Majelis Ilmu tentang hal di atas bisa dilihat disini